lovely picture

Saturday, June 29, 2013

Dialah Allah #dalamhening

Dialah Allah,
tidak ada Tuhan selain Dia
Mengetahui yang gaib dan yang nyata
Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang

Dialah Allah,
tidak ada Tuhan selain Dia.
Maha Raja Yang Mahasuci,
Yang Mahasejahtera,
Yang Menjaga Keamanan,
Pemelihara Keselamatan,
Yang Mahaperkasa,
Yang Mahakuasa,
Yang Memiliki Segala Keagungan,
Mahasuci Allah,
dari apa yang mereka persekutukan

Dialah Allah,
Yang Menciptakan,
Yang Mengadakan,
Yang Membentuk Rupa,
Dia memiliki nama-nama yang indah
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya
Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.

(Al-Hasyr: 22-24)

*versi quranic arab nya lebih maknyus, Sob. apalagi yang dibikin versi lagu Asmaul Husna. hmm mendalami maknanya bikin 'nyes' di hati (apaan coba haha).

***

dalam hening,
menyendiri adalah obat hati.

dalam hening,
hati menjadi bening
mengingat diri, Tuhan,
dan sebingkai misteri kehidupan.

dalam hening,
setiap kita memaknai keheningan
layaknya kawanan dalam keramainan.

***



| Refleksi Perjalanan Setengah Tahun 2013 | Refleksi Akhir Semester 4 | Proyeksi H-10 Ramadhan | Proyeksi Semester 5 |


Yogyakarta, 29 Juni 2013
@NurismaNajma


Monday, June 3, 2013

Bangsal Mataram Merefleksikan Perekonomian



Sebuah Ulasan Seminar dan Bedah Buku
“Mudah Memahami dan Menganalisis: Economic, Sectoral, and Regional Indicators”

Rasanya selalu bersemangat setiap kali mengikuti perkuliahan Prof. Mudrajad Kuncoro. Semester lalu saya berkesempatan merasakan atmosfer kelas Perekonomian Indonesia yang diampu beliau. Sensasi perkuliahan yang sangat menantang dan menyenangkan. Semangat membaca, menulis, di sela ayat-ayat Quran yang disisipkan di setiap naskah beliau, bersama gelak tawa canda humor beliau yang renyah adalah suasana kuliah yang saya rindukan. Meskipun harus dihujat dan mengalami depresi mengahadapi tugas presentasi tapi pengalaman itu worth it. Menggebu-gebu, berapi-api, dan selalu diselingi humor yang menyegarkan. Apalagi dalam mata kuliah ini tidak ada jurnal debit kredit, rasanya benar-benar merdeka (curhatan anak Akuntansi yang sedikit desperate memahami akuntansi keuangan). Grafik-grafik di slide presentasi beliau tampak lebih menarik. Begitu pula, kata-kata beliau membuat jiwa serasa meregang karena merasa tertantang.. :D
Kali ini sebuah kesempatan yang amat menyenangkan. Saya berkesempatan menghadiri sebuah seminar sekaligus launching buku terbaru Prof. Mudrajad, buku ke-32 dari target beliau untuk mencapai 100 buku. Luar biasa! Acara ini diadakan oleh Kantor Publikasi FEB UGM yang dipimpin oleh Prof. Mudrajad. Saya beruntung sekali mendapat informasi mengenai acara ini dari Dito. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada Dito yang sudah memberi kesempatan kepada kami  mahasiswa untuk turut hadir di Bangsal Mataram, Bank Indonesia dengan free.. :D 

Keynote Speech oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Keynote speech disampaikan oleh perwakilan Dewan Komisioner OJK, menggantikan Muliaman D. Hadad. Beliau adalah anggota tim transisi BI-OJK, Pak Agus Siregar kalau tidak salah. Menurut pemaparan beliau, diskusi mengenai Otoritas Jasa Keuangan yang beroperasi mulai Januari 2013 ini memakan waktu hingga 12 tahun. RUU OJK pun tercatat sebagai salah satu RUU yang pembahasannya memakan waktu yang amat lama di negeri ini. Inisiasi mengenai pengadaan lemabaga pengawas independen dicetuskan sejak rezim Habibie melalui UU 34 tahun (lupa) akan tetapi baru dieksekusi Jnauari 2013 di rezim SBY. Meski telah berjalan pertengahan tahun, pengawasan sektor perbankan baru akan dimulai akhir tahun ini atau menjelang 2014. Saat ini OJK masih terbatas mengawasi Bapepam LK. Ke depan pengawasan OJK tak terbatas di ibu kota saja. Ada peluang adanya kantor-kantor cabang regional OJK agar pengawasan lebih optimal.
                Pertanyaan yang sangat merisaukan saya sejak lama adalah proses transisi BI terhadap OJK. Selama ini BI lah yang memiliki wewenang dalam hal regulasi dan pengawasan di lemabga keuangan. Pengawasan ini dipindah-tangankan kepada OJK sehingga penyerahan wewenang ini memerlukan suatu masa transisi. Menurut narasumber OJK, setidaknya perlu 3 tahun pengawasan dari eks-BI. Koordinasi sebagai barang mewah dalam kinerja pemerintah menjadi kunci keefektifan kebijakan. Keterkaitan  relasi anatar Muliaman Hadad dengan wakil Dewan Komisioner (lupa nama beliau) yang merupakan eks-BI tentu menjadi pemicu kondisi yang lebih koordinatif.
                Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana independensi, integritas, dan profesionalisme OJK ke depan? Apakah seperti KPK yang dicap tebang pilih tanam? Apakah OJK dapat menjadi stabilator atau justru penghambat dalam penanganan krisis dengan semakin ribet dan semrawutnya birokrasi dengan berbagai kepentingan politik?
                Entahlah. Yang jelas narasumber mengatakan transition risk menjadi tantangan tersendiri bagi OJK dalam proses transisi kewenangan pengawasan tsb. Stabilisasi pereknomian menjadi isu utama yang sangat fragile. Hal ini disebabkan oleh volatilitas perekonomian yang sangat rentan dalam masa implikasi wacana kenaikan BBM dan transisi dalam masa pemerintahan republik ini. Oleh karena itu, di tengah menghangatnya kondisi perpolitikan negeri dengan semakin dekatnya pemilu 2014, pemegang kekuasaan terutama mereka yang memiliki kewenangan dan kewajiban menjaga stabilitas ekonomi negeri ini perlu memfokuskan diri dalam pembenahan dan penstabilan kondisi ekonomi dan keuangan negeri.

Speaker: Bapak Tavip Ketua Bappeda DIY dan Prof. Mudrajad Kuncoro 

Berikut adalah data-data menarik dari DIY: Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia) menduduki peringkat keempat se-Indonesia, propinsi dengan pengangguran intelektual tertinggi di Indonesia, 9 propinsi  terburuk dengan tingginya tingkat kemiskinan, serta peringkat kedua dalam angka daya beli konsumen.
                Data di lapangan tersebut semestinya menjadi evaluasi bagi arah kebijakan. Prof. Mudrajad menekankan perlunya reformasi dan deregulasi dari peraturan dan perimbangan keuangan antara pusat-daerah melihat efektivitas dan kinerja masing-masing daerah.
                Prof. Mudrajad menekankan perlunya fokus pemerintah pada keunggulan masing-masing daerah-regional-ataupun provinsi. Indikator ekonomi menjadi mata rantai arah kebijakan. Hal ini menjadi perhatian khusus mengingat kerap kali kasus kesenjangan data terhadap realita terjadi.
                Ada hal menarik yang perlu diselidiki lagi soal negerii ini. Kata Pak Tavip nih, orang Jogja tuh hidup bahagia (Hdi tinggi) tapi tetap aja miskin. Kalau Pak Mud menambahkan, orang Jogja itu nggak nyadar kalo miskin. Selama masih hidup tenang dan damai, bisa berkumpul bersama. Inilah kemiskinan kultural itu, kata Pak Mud.
                Menanggapi insentif penanggulangan kemiskinan tak lepas dari kebijakan impor-ekpsor dan berbagai paket program unggulan. Prof. Mudrahad menggarisbawahi UU perimbangan Keuangan yang perlu ditinjau ulang, yaitu UU 33/2004 dan UU 32/2004. Selain itu, tingginya proporsi investasi yang didominasi asing perlu ditangani yakni dengan Raperda Insentif Penanaman Modal.
                Menanggapi arah kebijakan dan penanganan permasalahan industri dalam negeri khusnya industri kreatif, Prof. Mud menekankan tiga masalah utama UMKM yaitu (1) Akses biaya, (2) Financial inclusion, dan (3) Akses bahan baku. Dan yang tak kalah penting beliau menambahkan,  bagaimana mengubah mindset UKM Usaha Kecil Menengah menjadi Usaha Kecil Milyaran (hahaha).
                Menurut Pak Tavip masalah budaya, industri yang tercerai berai, di sinilah urgensi koordinasi. Menyatukan industri kecil tentu tidak mudah. Tetapi hal ini perlu terutama dalam value dan terbentuknya “trust” dan cooperativeness di antara elemen masyarakat dan pemerintah. Well, beliau menyebutkan daya saing tidak seharusnya dinilai dari competitiveness. Jadi, parameter dari daya saing apa dong? Bingung... Setahu saya, sampai detik ini adanya mah GCI Global Competitiveness Index yang mencakup banyak hal. Dan level GCI Indonesia di tingkat global menurun salah satunya karrena permasalahan birokrasi dan korupsi. Sebenarnya karena belum spenuhnya paham maksud Pak Tavip dengan pernyataannya, dan forum yang tidak memungkinkan untuk mengejar makna yang beliau sampaikan, setidkanya ada hal yang jelas menjadi tugas bersama. Membangun daya saing itu dimulai dari hal kecil. Menghargai, mencintai, dan melestarikan keunggulan setiap daerah. Baguslah, ada wacana memasukkan pelajaran batik di sekolah. Ya semoga tak berhenti di sana. Akan tetapi bagaimana authority, hak atas intellectual property, manajmemen dan pemasaran dari produk lokal yang profesional sangat esensial dalam menghadapi persaingan global menghadi ASEAN Economic Community. Jaya Indonesia!

OOT:

Masjid BI cukup bersih, namanya Masjid Nur Wahid. Sesaat setelah meluncur dari Bantul ke tempat ini perjalanan yang jauh itu tak terasa melelahkan setelah berhasil menemukan ketenangan di tempat ini. Oya, ada perpusnya juga tapi nggak berani masuk hehe kan orang luar maksudnya.
               
Ohya, ada hal yang berkesan  di forum ini. Saya ketemu sosok yang familiar. Hampir empat tahun lalu dia berdiri sebagai lawan dalam Jogja Debating Cup. Beliau ini ternyata sekarang di HI UGM dan kabarnya sih founder FFI dan udah terkenal ke mancanegara weseh.
Oh well, saya takkan pernah lupa saat berhadapan dengannya dalam pengalaman high school debating cup pertama saat masih duduk di bangku Kelas X SMA. Ada satu kata yang meluncur dari beliau yang takkan pernah saya lupakan dalam debat itu, “bullshit”. Agak sakit hati sih ketika tim ini disebut2 cuma omong kosong doang. Tapi lebih kaget lagi karena kata itu muncul di  tenagh sesi debat. Dan ia muncul sebagai wakil sekolah yang notabene pesantren di Jogja. Whatthefun, Dito, Kei, dan saya pun anak yang besar di lingkungan biasa2 ini pun “terkesima” hahaha. No matter what, the ethics of debate stands. Lupa siapa akhirnya yang menang dalam sesi itu yang jelas Padmanaba berhasil, meski hanya merebut gelar Hi-School Debating Champion karena  Delayota kala itu bisa sampai level Jogja Cup. Oh well. Whatever happens, it’s not a matter of arguing. The art of debating is a matter of respecting freedom of thoughts.
Btw, orang itu inget aku nggak ya? Barangkali tidak. I have changed a lot. I have gone mature (supposed to be) and I have changed much in manner. Hahaahaaa, nggak perlu juga inget dan nggak penting juga kalee.The obvious thing is everybody changes. Barangkali bahasa Inggris dia udah level master sekarang dan semoga lebih mature dan menguasai the ethics of language itu. Thats the main point! Bukan apa-apa, mau saingan mau kawan, kita muslim tetep deh bersodara bro. Makanya saya pun perhatian dan tak pernah lupa satu kata itu yang okelah udah biasa dan rubbish dalam percakapan harian. Hmmm anyway, I think there once a saying goes (can;t remember the exact woerds) but, the way a speaker states his mind determines the level of one’s civilization. I wish you could understand what I mean here.

***
 
Yogyakarta, 3 Juni 2012
@NurismaNajma