lovely picture

Tuesday, October 28, 2014

Study HARD! Love, Pray, and Do :)


Today I found two quotes. Both compelling and awakening quotes to live the day as an Accounting student for this final year. Also, it is surely good to begin a new year (the Hijriyah) with blessing. 

The first one came in the electronic mail from our department sending some challenges. The message says:

"Great minds don't see limits, they see opportunities."

It used to be so easy to take those kinds of challenges. It is harder when I start asking and doubting my own self.

Another was a poetry from Dylan Thomas entitled "Poetry in October."

"And I rose 
in rainy autumn.
And walked abroad in a shower of all my days."

And yes,

"In every hardship, there is relief."

Friday, October 24, 2014

Psikologi Humanistik: The Good, The Bad, and The Ugly

Humanisme merupakan sebuah aliran pemikiran psikologi yang jika dirunut berasal dari filosofi eksistensialisme. Humanisme menurut Bagus Riyono mengakibatkan pandangan hidup yang misleading karena memusatkan segalanya kepada manusia sehingga meniadakan Tuhan. Namun, humanisme dalam teori Maslow telah memberikan kontribusi pada pemikiran psikologi mengenai hierarki kebutuhan manusia atas aktualisasi diri, sebuah karakteristik manusia yang lebih defining, manusiawi, dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan pemikiran Freud yang melihat bahwa semua manusia pada dasarnya buruk dan diperdaya hawa nafsu.

Sebelum membahas lebih jauh, mari sedikit mengulang teori Maslow, teori motivasi yang merupakan bagian dari content theory menurut Budi Santoso dalam kuliah Perilaku Organisasional. Teori ini sangat populer tetapi memiliki keterbatasan yang hanya melihat kebutuhan sebagai tingkatan-tingkatan hierarkis sehingga tidak mampu menjelaskan lebih komprehensif apa yang sebenarnya membuat seseorang termotivasi. Content theory kemudian dikembangkan oleh para ahli menjadi process theory seperti goal-setting theory maupun expectancy theory yang menitikberatkan pada apa yang menjadi penyebab perilaku seseorang. 

Teori hierarki kebutuhan manusia yang dicetuskan Abraham Maslow terdiri atas lima kebutuhan mendasar manusia yang berurutan dari paling bawah sampai kebutuhan yang paling atas meliputi kebutuhan dasar fisiologis, kebutuhan psikologi, kebutuhan sosial, self-esteem (kebutuhan untuk berprestasi dan unggul), self-actualization (kebahagiaan). Bagus Riyono menarik kesimpulan dari penemuan Maslow bahwa terdapat dua kategori manusia yaitu actualized and non-actualized person. Manusia yang belum teraktualisasi akan terus mencari dan menginginkan terpenuhinya kebutuhan tersebut. Sedangkan, pribadi yang telah teraktualisasi akan lebih stabil. 

Maslow berhasil mengangkat sisi kemanusiaan yang terlupakan dan terabaikan dari teori Freud. Self-actualization merupakan konstruk yang dimunculkan Maslow dari hasil pengamatan terhadap orang-orang yang berkepribadian baik dan mulia. Pandangannya yang berbeda adalah keyakinan bahwa tidak semua manusia jahat. Bagus Riyono kemudian menjabarkan ciri kepribadian yang telah teraktualisasi. Orang yang memiliki aktualisasi diri memiliki pandangan terhadap realitas, lebih nyaman, dan objektif. bisa menerima diri dan orang lain dengan tentram, spontan tetapi tidak ngawur. Ia memiliki kemampuan untuk menyendiri atau meng-handle attachment dan melakukan detachment. Autonomy yang dimilki sehingga lebih mandiri, independen, self-reliant, dan memiliki continued-freshness of appreciation. Dengan kemampuan megapresiasi yang tulus tersebut pribadinya memiliki kemampuan empatik yang tinggi dan hubungan interpersonal yang kuat.

Namun, kekurangan dari teori tersebut adalah konstruk self actualization masih sangat abstrak. Selain itu, teori Maslow kehilangan ruh atau nirmakna. Pengalaman spiritual bagi Maslow sayangnya hanyalah sebuah istilah yang tidak diinginkannya yang terpaksa dia gunakan sehingga hanya berakhir pada pemaknaan secara humanistik. Ya, agama kemanusiaan. Maslow menilai bahwa tidak ada hubungan yang bermakna kecuali hubungan antarmanusia. Agama dalam kaca matanya dianggap sebagai kelompok yang menghambat kebebasan manusia. 

Pandangan Maslow tentang agama tertulis dalam bukunya Religions, Values, and Peak-Experience. Sayang sekali banyak penganut aliran humanisme yang tidak benar-benar memahami basis pemikiran Maslow karena mengabaikan footnote dalam buku tersebut. Catatan kaki yang khusus menjabarkan makna “spiritual life” menurut Maslow adalah distasteful vocabulary dalam dunia sains dan psikologi. Istilah yang kurang bermakna atau hambar dalam dunia ilmiah dan psikologi. Baginya, the common base of all religion is human sehingga dia terlalu mendewakan manusia. Semua kejadian menurutnya bersifat subjektif, kemanusiaan, dan menuntun kepada pengalaman puncak yang mengarah kepada iluminasi (pencerahan yang tidak berhubungan dengan Tuhan). Maslow pada akhirnya tidak menemukan kata yang tepat untuk menjelaskan makna spiritual sehigga kata itu pun menjadi kata yang biasa saja.

The ugly part of this theory adalah sisi wagu dalam istilah Jawa yang digunakan Bagus Riyono yaitu bahwa Maslow percaya 90 persen manusia jahat. He said, “all men are bastards.” Hal ini cukup kontradiktif dalam konstruk yang diangkat Maslow karena dia melihat adanya tingkatan teratas manusia self actualization-tingkatan yang paling mulia versinya yang berarti hanyalah 10 persen saja yang dianggap oleh Maslow. Ia pun masih membenarkan defense mechanism dalam teori Freud bahwa manusia ketika melakukan kesalahan dapat merasakannya. Ya, itulah dosa yang sebenarnya disadari manusia. Namun, teori Maslow mengarahkan bahwa manusia memiliki self defense mechanism untuk membentengi dan merasionalisasi setiap kesalahannya. Berdasarkan uraian dan analisis di atas, Bagus Riyono membuat sebuah pemikiran, a discourse analysis, bahwa pemikirannya atas 10 persen manusia terbaik tersebut berakar dari pemikiran Yahudi yang menganggap dirinya sebagai umat terbaik yang seharusnya menguasai manusia lainnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari latar belakang Maslow yang merupakan seorang Yahudi.

Ancaman dari psikologi humanistik adalah munculnya agama humanisme. Relativisme kebenaran bahwa semua benar dan relatif bagi setiap orang mendorong kepada paham pluralisme yang idenya setara dengan humanisme. Pluralisme dan pluralitas sendiri memiliki esensi yang berbeda. Pluralitas adalah diversitas. Pemahaman bhinneka tunggal ika seringkali misleading. Bahwa ia adalah sebuah pluralitas, diversitas yang menyatu. Bukan pluralisme. Pada akhirnya Maslow belum bisa menjelaskan mengapa seseorang berperilaku tertentu ketika semua tingkatan kebutuhan telah dimiliki, misalnya mengapa koruptor yang telah mendapatkan pemenuhan semua tingkat kebutuhan masih saja korupsi?

Pada sesi akhir ada sebuah refleksi yang menarik. Bani Israil dalam Al Quran diceritakan sebagai umat yang terpilih tetapi ingkar. Oleh karena itu, umat terbaik adalah umat islam yang ber-amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kepada kebajikan menjauhi kemunkaran. 

Self defense mechanism dalam teori Maslow maupun Freud tidak sesuai dengan Islam. Dalam Islam, semua manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah sehingga ketika ia berbuat dosa bukan self defense mechanism yang seharusnya dilakukannya melainkan taubatan nasuha. Oh ya, saya baru tahu ada seorang peserta yang out of topic menyinggung soal lambang iluminati pada Tugu Jogja. Menurutt Bagus Riyono hal itu memang tidak dapat dipungkiri karena penjajah yang datang ke Indonesia, Belanda, membawa misi iluminati. Gospel, Glory, and Gold. Bangunan tugu asli Jogja sebenarnya sangat sederhana berbentuk golong gilik. Tugu Jogja yang sekarang ini adalah peninggalan Belanda. 

Bagus Riyono juga mengangkat sosok Mohammad Hatta. Tahukah Anda mengapa Mohammad Hatta terpilih sebagai bapak Indonesia atau bapak koperasi atau title istimewa semacam itu? Karena dalam biografinya Bung Hatta ketika belajar di Belanda merupakan pribadi yang memiliki idealisme. Saat itu banyak kelompok diskusi yang mengarah pada penuhanan pemikiran manusia. Ketika dirinya diajak belajar filsafat ketuhanan ia dengan tegas mengatakan, “Maaf, saya Islam.”


Sumber: Kuliah Psikologi Islam oleh Bagus Riyono ditambah sedikit review beberapa ilmu yang diperoleh dari Pengantar Psikologi oleh Fathul Himam, dan Perilaku Organisasional oleh Budi Santoso



Monday, October 20, 2014

So Real

So Real Lyrics

By: Raef feat. Maher zain
They say that love never lasts
That love never lives to see another day
But what I know deep down inside
It’s what I feel and it’s so real
I gave it up all for You
And there ain’t nothing that I won’t do
All I know deep down inside
It’s what I feel and it’s so real with You!
Chorus:
Allah, everyday I’ll try to be as true as I can to You
‘Cause loving You the best I can

Will always be my number one and only plan
Yes everyday I’ll try to be as true as I can to You
‘Cause loving You the best I can
Will always be my number one and only plan
They say: “You’re out of your mind”
“Don’t you know that love fades away?”
They say: “It only brings you pain!”
But what I feel is so real!
I gave it up and turned to You
‘Cause I know what your love can do
O Allah open up our hearts
And make us feel how it’s so real with You!

source: www.islamiclyrics.net

Thursday, October 16, 2014

In The Harmonious Harmony

I would rather walk slowly 
to catch every breath of the airy way
yet, it would never last forever
would you let me 

reminisce every step of the journey 
for at some point I would start over
and fly away

Life sometimes becomes 'too kind'
But, I would rather talk softly
and hear the very whisper of the wind
for I will leave silently
to live in the harmonious harmony.

~NN~
16 October 2014

Sunday, October 12, 2014

Untuk Kawan Pertama: Sebuah Doa

Kita mungkin bukan sepasang merpati yang selalu terbang bersama
Bukan sepasang kekasih dengan kata-kata romantis setiap harinya 
Tetapi kita sepasang manusia yang terlahir untuk saling melengkapi
Bahwa aku mungkin kadang terlalu berlebihan
Memaknai dan menilai arti cinta di antara kita
Padahal sejatinya ia terlalu sederhana dan mulia

Panggilan konyol di antara kita
Perang bantal dan rebutan guling
Apa kau ingat semuanya
Sebab kau teman pertamaku sejak aku terlahir di dunia
Mungkin hal-hal bodoh itu tinggal kenangan 
Setiap detik yang kita habiskan itu terkadang 
Meski seperti kenangan masa lalu
adalah kawan yang selalu membuatku rindu
Untuk memutar waktu, kembali ke masa itu

Kita mungkin bukan sepasang merpati yang selalu terbang bersama
Tetapi terima kasih telah membagi sayapmu
Pada saat-saat di mana kau yang paling tahu sayapku terlalu lemah
Ketika aku pun barangkali bukanlah yang paling menguatkanmu
Ya, kita mungkin bukan sepasang kekasih dengan kata-kata romantis setiap harinya
Tetapi semoga Allah menjaga kita dalam doa-doa yang tak kasat mata.

Selamat berjuang untuk salah satu ujian dan mimpi besar itu, Mbak! 
Semoga setiap usaha dan doa dijawab Allah dengan sebaik-baik takdir. 
Kau kawan pertama dan terbaik yang pernah ada,
apapun penilaian yang mungkin orang berikan di antara kita. 
Maafkan atas segala kesalahan dan ketidaksempurnaanku. 
Semoga pertengkara yang pernah ada, kekonyolan di antara kita, 
menjadi warna-warni yang melengkapi perjalanan hidup kita.


Perjalanan terakhir bersama: Guci






Friday, October 10, 2014

The Alchemy of Happiness-Al Ghazzali vs. Freudian

Sigmund Freud believes that human has the needs of life, in his opinion, the desire for life is to the desire for sex. He developed dream theory, psyco-analysis theory, etc. out of his own experience which makes his theories for some scientist and psychologists are not scientific enough because the theories seemed to be personal interpretation and assumption.

Born as a Jewish child, feeling abandoned as a child, he made his own principles, the dark side of psychology, that is what Mr. Bagus called the theory. Under the power of Hitler during his childhood, he witnessed the weakness of having a religion. His dad, who is a Jewish, once he walked over the street and got attacked. His hat fell into the mud. But, his dad did not fight back. He just took his muddy hat and went by without having the feeling of humiliated. Freud was mad by his weak less-powerful father being treated like a dummy. He hated his dad until his dad really died. He had this feeling of uncertainty, whether he should be happy or sad when his dad died. His disappointment of his own childhood, religion, and life in general directed him to make such theory which sadly, nowadays has been common in our society. People unconsciously are omitted Freudian as they talk some improper words as though they are proper. Vulgar talks in the media are becoming things in common, like just a habit in a daily life. We probably forget the wisdom, the valuable heritage we mostly leave behind.

The thought of Freud, how he assumes human is that dark animal character has been long time before brought up and encountered by Imam Al Gahazali. In summary, Al Ghazali said be aware to yourself if you think happiness is something you gain after eating and drinking, then you have this animal character, or if you have ferocious (Ind.: agresif) feelings and acts, and if you see yourself as a machine (behaviorist-neuroscience thinker).

Al Ghazzali then countered this dark side human into this wonderfully beautiful quote:


"And if you possess angelic qualities, whose nature it is to worship God in sincerity and continually to await the vision of His beauty, then like them you should unceasingly, resting neither day or night, be zealous and strive that you may become worthy of the vision of the Lord."

In his argument, human has inherited the prophetic nature of Adam. Thus, the nature of human is to worship sincerely. This sincerity and obedience to God drives the feeling to miss the moment of meeting God day and night for them to be worthy enough in the eyes of God.

At the end, life is a choice. Everything in life seems to be a two-eyed-sword, having both the good and bad sides. You've got to choose either way. Don't swear those who are deviant because the deviants are part of Allah's will. Allah knows and wants to give His guidance to those who learn and understand.

Note: Summarized from Islamic Psychology Lecture-Dr. Bagus Riyono. After getting lost in a class for 15 minutes where you feel like you have no clue at all, discovering that you believed you just got into a wrong class, something like intuition class. Then you escaped from that place and finally you found the right one!

Thursday, October 9, 2014

Merangkai Cinta, Meniti Surga: Sebuah Dialog

“Sebenarnya, dalam Islam tidak ada pacaran sebelum pernikahan. Jadi ya jujur aku nggak mau capek ngejar siapa-siapa. True love yang sense-nya agak berbeda dengan kondisi pada umumnya. Agak ga masuk akal sih, tapi ya itulah belief.” 

Sent. Jasa pesan pendek alias short message service itu pun berakhir panjang. Sebuah pengakuan.

Tak ada lagi pesan yang masuk setelah itu. Dialog yang berakhir menjadi monolog. Tak apa. Toh dia memang hanya ingin mengungkapkan itu menanggapi sms soal jodoh itu. Meskipun tetap saja pesan itu barangkali masih meninggalkan banyak tanda tanya bagi si penerima pesan. Semoga saja niatnya tidak salah. Semoga yang dilakukannya tidak sia-sia. Semoga tak ada hati yang tersakiti. Tidak ada lagi misunderstanding. Agar ada kelapangan setelah semuanya jelas dan gamblang.

Bahwa mencintai adalah sebuah komitmen, pengorbanan, dan ketulusan. Bahwa saling mencintai adalah kesucian bila semua berawal dari sebuah niat yang suci, menghambakan diri, mendekatkan setiap diri kepada-Nya dengan sebuah ikatan suci.

Siang bolong di tengah keheningan perpustakaan. Sebuah pesan masuk. 

“Pacaran itu bagian yang sangat penting dalam hidupku... Jadi ya aku nggak mau juga sembarangan pacaran. Ya kalau bisa sih pacaran itu sekali aja seumur hidup. Maaf deh ya kalau kemarin-kemarin sempat membuatmu tidak nyaman.”

Sebuah balasan atas pengakuan yang baru sehari lalu diungkapkannya. Ketika seorang kawan lelaki itu tiba-tiba mengirim pesan kepadanya perihal jodoh dan pacaran. Tema yang sejak dulu agak dihindarinya. Dan kebaikannya seringkali membuatnya takut. Takut pada dosa kasat mata yang dapat saja muncul dalam hatinya.

“Hmmm... sejauh yang aku tahu, dalam Islam ada sih proses taaruf. Proses menuju jenjang pernikahan, yang memiliki adab-adab tertentu.” 

Ia mencoba menetralisir suasana. Ah sudahlah. Ingin sekali dia mengatakan kata-kata Aini dalam CRC “Aku sudah punya Cinta yang lain.” Namun, ia sangat menghormati prinsip orang lain. Ia tahu betul setiap manusia mempunyai belief-nya masing-masing. Apalagi jika latar belakang dan kepercayaan yang dimiliki berbeda. Ia tergolong orang yang cukup mudah mentoleransi orang lain tetapi sangat sulit berdamai dan mentoleransi kesalahan dan ketidaksempurnaan diri sendiri. 

Jujur ia sebenarnya merasa tak punya cukup ilmu tentang cinta. Ketika teman-teman SMA-nya begitu senang membicarakan hal itu, ia selalu menjadi pendengar. Bisa dibilang hingga usianya saat ini pun ia bisa dianggap cupu soal begitu. Bukan hanya karena orang seringkali menganggapnya masih terlalu muda karena mereka mengira dirinya masih di bawah umur, tetapi nyatanya orang-orang akan terkejut setelah mengetahui usianya sudah tak lagi kanak-kanak, sebuah fase menuju kedewasaan dan kematangan. Wajar saja jika hal itu belakangan sedikit mengusik kecupuannya.

Ya, bukannya ia tidak tahu bagaimana mencintai. Ia sama seperti manusia lainnya. Ia tahu bagaimana rasanya jatuh. Dan setiap yang jatuh itu, sehelai daun yang gugur sekalipun, semua atas kehendak-Nya. Ia hanya ingin menyimpannya baik-baik hingga saatnya tiba. Cinta itu fitrah. Jadi ia tidak ingin membuat sesuatu yang suci itu menjadi ternoda. Ia memang tak pernah paham soal pacaran karena ia tak pernah. Ia tak pernah berniat bermain-main soal hati. Pun untuk sekadar pacaran. Siapa yang dapat menjamin bahwa dengannya bisa saling menjaga? Siapa yang menjamin pacaran dapat menjaga kesucian cinta? Tak ada jaminan sama sekali. 

Agar tidak ada hati yang tersakiti. Agar tidak ada hati yang menyesal nanti. Maka jika boleh ia memilih, ia memilih untuk tidak memiliki satu pun pemuja. Untuk apa memiliki pemuja? Tak akan pernah membuat diri ini mulia di hadapan-Nya. Dalam lika-liku yang ada, seringkali ia memilih mundur. Bukan mundur seperti pengecut yang mengalah sebelum perang. Ia memilih mundur karena yang di hadapannya terlalu samar hingga ia tidak ingin tenggelam. DTak jelas apa yang diperebutkan. Maka ia memilih mundur karena ia takut telah mempertuhankan sebuah peperangan yang sia-sia. Kadang ia tak yakin bahwa itu adalah medan peperangannya. Diam dan menjauh barangkali pilihan yang membuatnya damai dengan Tuhan dan dirinya sendiri. Pun jika itu benar medan peperangan, ia rela mati terbunuh. Baginya peperangan tak selamanya soal kemenangan. Ia adalah soal kesungguhan dan pengorbanan.Sungguh, mati dalam peperangan takkan membuat dirinya kehilangan derajat kemuliaan. 

Semua sudah Allah tulis dalam Lauhul Mahfudz. Menjadi pribadi yang sebaik-baiknyalah yang harus dilakukan selama menunggu skenario Allah. Ia hanya menanti seseorang yang bersungguh-sungguh. Yang tidak perlu berbasa-basi. Yang bukan ingin memberinya harapan dan angan-angan. Yang dengan berani dan kesungguhan hati dan niat suci, mengakui di hadapan ayah, ibu, Allah, dan para malaikat, bahwa ia bukanlah pemuja tetapi seseorang yang siap menjaga, membagi, dan berjuang untuk meniti jalan menuju kepada-Nya ini bersama-sama dengan ikatan suci. Cinta yang meniti surga.

Bukan soal nyaman ataupun tidak nyaman. Sungguh, baginya cinta ialah ketetapan, keteguhan, dan iman. Kesungguhan dan kemampuan, niat dan tindakan. Merangkai cinta secara nyata, bukan sebatas angan. Ya, cinta yang meniti surga. 

La marghubi illallah. la matlubi illallah. la mahbubi illallah. la ilaha illallah.

Bacaan lebih lanjut:

Tuesday, October 7, 2014

Ketika Rindu adalah Doa

Ketika ekspresi rindu adalah doa
Tak ada cinta yang tak mulia.

Seperti gerimis kau hadir tanpa suara. Kau masuk tanpa mengetuk. Dan aku hanya bisa duduk di sini. Menunggu. Tak ada daya untuk berbuat sesuatu.

Kepada hujan barangkali kita memang perlu mengucapkan terima kasih yang dalam. Hadirnya telah membuat apa-apa yang tak terungkap tetap rahasia.


Berhenti di sana. Jangan lagi kamu berjalan meski pelan-pelan. Aku takut ketika kamu jatuh, tanganku belum siap di sana untuk menangkapmu.
Jadi tunggu dulu.
Tunggu. Sampai mulutku tak lagi gagu. Sampai bicaraku lancar tanpa harus fokus pada jantung yang dengan cepat  berdebar. Aku tidak akan mengatakan kata-kata yang diucapkan kebanyakan orang: Pasaran. Bualan. Jadi biarkan aku berkreasi sambil membaca situasi.
Dan selama itu, silahkan kamu menunggu.

Setelah jatuh aku memilih jauh. Tapi jarak, sepertinya memang dicipta untuk dibuat luruh.

Adalah merekam, satu hal yang paling menyenangkan dalam hidup ini. Adalah memutar ulang rekaman dan menertawakan segala kebodohan yang terekam di dalamnya hal paling menyenangkan nomor dua. 

Sebab itu kita suka menulis. Sebab itu kita suka memotret-atau dipotret. 

Barangkali karena sebagian kebahagiaan tak bisa diulang, kita menjadi pecinta rekaman-rekaman-menjadi pengagum kenangan-kenangan. Barangkali karena kita tak punya kuasa untuk memaku waktu, kita mengenang keindahan yang kita jumpai dalam gambar-gambar, dalam kata-kata-rentetan aksara yang bisa kapan saja kita baca.

Aku menunggu. Kamu menunggu. Meski terkadang menunggu tak seinci pun menyeret kita untuk bertemu di titik rindu. Tapi, ah, adakah yang lebih indah dan syahdu dari dua jiwa yang saling menunggu? Yang tak saling menyapa, tapi diam-diam mengucap nama dalam doa?


Kesiapan untuk menjaga, merawat, dan menumbuhkan seseorang menuju derajat kehidupan yang lebih tinggi. Dan kesiapan selalu mensyaratkan dua hal: kemantapan hati dan kemampuan. Kita baru bisa dikatakan siap mencintai bila hati kita mantap dan kita mampu menunaikan pekerjaan-pekerjaan para pecinta: menjaga, merawat, dan menumbuhkan.

Kubicara pada udara yang tak pernah pahami rasa
...
Kubicara pada bulan purnama yang tak pernah selalu ada
seperti dirimu yang jauh dariku.
Kini semua tlah usai, 
jarak telah luruh.
Rindu telah kita sulap menjadi temu.
Tuhanlah yang Maha Romantis
tuliskan kisah fantastis
...
Menyatukan gambar kita dalam bingkai yang apa adanya.


Ketika ekspresi rindu adalah doa
Semua cinta adalah jalan surga.


(Tuhan Maha Romantis)*
***

*sebuah rangkaian kata medley, dari sekumpulan mutiara Tuhan Maha Romantis karya Azhar Nurun Ala. 

Saturday, October 4, 2014

Cerita Sebuah Gedung Tua: Pemaknaan terhadap Pengorbanan

Sebuah gedung tua. Berderet motor yang berjejalan di sudut timur dan utara. Beberapa mobil berjejer rapi di sepanjang jalan yang membentuk lengkungan sempurna. Jalan raya mengelilingi setiap senti bangunan tua. Bangunan tua yang dulu hanya ditatapnya dengan skeptis setiap sesekali ia berkunjung ke kota. 

Tak pernah sekalipun tempat itu masuk dalam daftar impiannya. Namun, nyatanya tempat itu menjadi salah satu pijakan yang membawanya sampai pada titik di hadapannya saat ini. Bukan sebatas memori dan kenangan tetapi perjalanan, pencarian, dan pemaknaan. Saat pertama kali dengan langkah ragu-ragu ia dekati bangunan tua yang tampak begitu kesepian. Paradoks antara kebisingan kota dan gedung tua. Bukan pertama kalinya tentunya. Dulu pernah ia berada di sana beradu soal ilmu alam yang sedari kecil disukainya kecuali mata pelajaran ilmu alam yang banyak hafalannya. Namun, saat pertama kali benar-benar menginjakkan kaki menjadi bagian darinya, separuh darinya bertanya. Benarkah ini tempatnya? Tak percaya. Ini sungguh asing. Ia mematung di sebuah aula meja registrasi. Pikirannya melayang-layang membayangkan pegunungan yang asri dan sebuah tempat yang selama ini diimpikannnya. Seorang ibu dengan setia menemaninya. Bahkan ketika ia tak kuasa melangkah dan berlari-lari ke seberang jalan. Apa yang dilakukannya? Untuk kesekian kalinya, ia mencoba meyakinkan dirinya. Di sebuah warung telepon, diteleponnya bapak. Orang yang selalu bijak di matanya. Orang yang kata-katanya selalu membuatnya menunduk untuk merenung. Benarkah ini tempat yang tepat? "Insya Allah, dicoba dulu Dik." Suara bapak di seberang membuatnya yakin. Kedua ibu anak itu pun beriringin menuju bangunan tua itu.

Kali ini kakinya melangkah sedikit lebih mantap. Berdiri dalam antrian dan kerumunan orang yang pastinya sedang memperebutkan nasibnya masing-masing. Pemandangan yang membuatnya semakin gamang. Ia kembali mematung menatap jendela yang telah menua. Seorang ibu masih setia berdiri di sampingnya. Tiba-tiba sebuah suara mendatanginya. Seorang bapak tua berdiri di dekat jendela. Entah siapa dia. Tiba-tiba saja menghampirinya. Entah apa maunya. Dia hanya berbisik, "Hei Nak, apa yang membuatmu ragu? Di tempat ini lahir orang-orang besar. Berjuanglah." Aku takjub. 

Tujuh tahun sejak pertama kalinya si anak menjadi bagian darinya. Sebuah siang yang meneduhkan. Ia berjalan menyusuri sisi timur dan selatan. Taman kota yang dahulu selalu di lewatinya setiap hari. Menyusuri lengkungan sempurna yang mengelilingi setiap senti bangunan tua itu. Di matanya terlihat segerombolan anak berseragam putih biru, seragam yang masih harus dikenakannya, sedang berdesakan di depan pos satpam. Mereka anak-anak baru yang tengah menyelesaikan tugas-tugasnya. Di parkir yang luas itu, teronggok sebuah polygon merah tua sendirian. Mungkin dua sepeda lainnya sudah pergi. Semua potret yang hanyalah lusi. Membuatnya bernostalgia banyak hal di sana. Hingga pada akhirnya di tempat yang mungil dan selalu meneduhkan itu dia selalu merasakan hidupnya berputar kembali, jiwanya menyala kembali. Setiap kali menemukan wajah mereka seperti melihat dirinya beberapa tahun yang lalu dengan keluguan yang sama. 

Hari itu ada yang berbeda ketika ia langkahkan kakinya di tempat yang sama. Kerinduan yang menyeruak begitu saja. Dua bulan kami tak bertegur sapa. Bagaimana kabarmu? Aku bahagia melihat kalian masih sama. Merinding tepatnya. Kalian sudah semakin dewasa. Ketika harus membagi apa-apa yang telah aku lewatkan aku begitu ragu. Batinku, siapa aku? Apa yang bisa kubagi kepadamu? Hei aku bahkan merasa tak punya apa-apa. Pesan itu mengatakan agar aku menyiapkan beberapa foto untuk ditampilkan. Saat itu aku bingung, foto seperti apa yang seharusnya aku tampilkan. Kubuka kembali kenangan-kenangan manis yang tersimpan dalam memori komputer. Kau tahu, setiap kali membukanya, aku selalu ingin memutar waktu. Menghabiskan waktu bersama kalian begitu berharga bagiku. Merenungi perjalanan yang telah dilewati terlalu bermakna bagiku. Aku ingat sebuah video perjalanan bersama kalian semuanya.  Akhirnya gambar bergerak yang terangkum dalam 3 menit itu sudah cukup membagi apa-apa yang selayaknya mereka tapaki selama di tempat ini. Dan perjumpaan itu membuatku semakin tak rela untuk pergi tanpa apa-apa. Sepertinya aku selalu merindukan saat-saat berbagi bersama kalian.

Sebuah Jumat selalu menjadi hari raya yang patut dirayakan. Menemukan cahaya yang menyala. Sebuah bara yang menyalakan sumbu yang mulai layu. Hanya dengan bertemu kalian itu sudah cukup membuatnya kembali bersinar. Terima kasih Sita untuk semuanya, untuk kesempatan yang sangat berharga, untuk membuat kehidupan kembali berputar.

Sebuah kekakuan yang wajar. Ia berpikir keras. Tiba-tiba ia teringat sebuah permainan "Dare to" yang mencairkan kebekuan kelas dalam perjalanan dari Walla Walla-Portland untuk sebuah lomba paduan suara. Permainan itu sangat simpel hanya dengan menghitung jari lalu menunggu giliran untuk menjawab setiap Dare to yang diajukan. Tentunya dare to adalah sesuatu yang telah/belum kita lakukan. Di sanalah terungkap semua kisah, pengalaman, dan perkenalan tentang siapa kita yang mampu menghancurkan benteng-benteng awkwardness yang telah tercipta di antaar kita. Maka aku memilih mmebuat permainan serupa. Tetapi lebih tepatnya dengan tulisan tanpa diungkapkan secara langsung. Lalu menebak setiap isi tulisan siapa  kira-kira orangnya. Bukankah itu cara terbaik untuk mengukur seberapa kita dekat dengan kawan kita dengan seberapa tahu, paham, dan mengerti kita pada pribadinya? 

Pertanyaan darinya, benda apa yang telah sepuluh tahun kau simpan? Beragam jawaban yang muncul. Selimut tweety, piala, ijazah, jawaban lugu dan tak terduga. Kau tahu apa jawabannya? Surat-surat dari sahabat, dari Isna, Khad, dan Ana yang paling mendominasi. Pertanyaan seorang anak yang membuatnya berpikir keras. Merk sepatu apa yang paling kamu suka? Ia terpaku. Nike yang sering didengar tapi melirik saja tak pernah apalagi memilikinya. Merk, ia sama sekali tak pernah melihat merk sepatu. Tepatnya tak ada merk yang pernah benar-benar menarik perhatiannya. Mungkin saking tak pedulinya ia pada aset tak berwujud yang sangat berharga bagi perusahaan itu meskipun itulah hukum yang berlaku di pasar. Ia hanya percaya bahwa invisible hand dalam pasar tak selamanya apa yang diinginkan hati setiap orang. Ia sering membenarkan bahwa ada tangan Tuhan dalam invisible hand. 

Hanya ada sebuah pengalaman yang tak terlupakan soal sepatu lokal yang tak bermerk. Sepatu warna hijau lumut yang telah menyeberang samudera hingga berlubang dan ia tinggal sebagai kenang-kenangan untuk Walla Walla. Ketika ia menunggu bus sekolah, seorang anak yang baru dikenalnya mengajaknya berdiskusi. Mereka berbincang banyak hal. Dia ternyata tertarik sejarah dan ilmu sosial. Dan yang terhebat dia tahu Indonesia. Setidaknya dia pernah membacanya di buku sejarah. Rasanya bangga. Tak banyak yang seperti itu. Lalu perbincangan mengalir kepada cara kami berpakaian. Menarik sekali. Dia berkata, "Seandainya semua wanita memakai pakaian tertutup sepertimu pasti kehidupan begitu tenang." Aku terdiam mencerna kata-katamu. Ya, barangkali. Setidaknya hal itu juga mengurangi penduduk neraka dari kaum hawa yang katanya paling banyak menghuninya. Lalu kau takjub pada sepatu ijo lumutku yang sebenarnya secara fisik biasa saja, sangat tak spesial. Tapi kau begitu excited. "Wah di mana kau dapatkan sepatu ini? This is soooo coool. I havent seen this kind of shoes." Kau bahkan ingin mencobanya. Ku angkat kakiku agar kakimu yang sedikit lebih besar bisa masuk ke dalam lubangnya. Kau takjub. PX Style itu yang tertulis di sana. Sepatu ket yang kau kagumi itu hanya aku beli di Jalan Mataram. Aku hanya tertawa ketika kau begitu iri menatapnya penuh keinginan. Datanglah ke Indonesia kau pasti menemukan banyak sepatu ini dijual di pinggir jalan. Itu kata-kata terakhirku saat bus kuning itu datang.

Lalu, ketika semua fakta telah kita ungkap aku hanya berharap tak ada lagi dinding-dinding yang memberikan jarak di antara kita. Kulirik jam. Tidak, sayang sekali waktuku tak banyak. Aku bahkan belum menyampaikan apa yang sejatinya ingin aku sampaikan. Tentang konsep pengorbanan nabi Ibrahim yang sedang aku coba pahami baik-baik. 

Seorang ayah yang mendambakan kelahiran anak pertamanya tak kunjung pula dikaruniai anak. Suatu malam ketika ia bersujud dan bedoa agar dikarunia anak, istrinya diam-diam mendengar doa itu. Sebagai seorang wanita, ia begitu terpukul. Ia memutuskan untuk merelakan sang ayah untuk menikah kembali untuk mendapatkan keturunan. Begitulah, pengorbanan wanita itu akhirnya terbayar. Sang ayah pun menikah kembali dan dari istrinya itu terlahir anak pertama yang sangat di sayanginya, Ismail kecil. Tepat saat itulah sang istri mulai cemburu. Ismail kecil dan Siti hajar ditinggal di tengah gurun pasir. sang ibu melakukan perjalanan dari Sofa-Marwa mencari sumber air. Ketika pada akhirnya air justru keluar dari kaki Ismail yang tergeletak di atas pasir.  

Ismail putra pertama yang teramat disayanginya harus direlakannya pergi pada usianya yang sangat belia. 13 tahun sang putra mulai tumbuh dan tentu teramat dicintainya. Saat itulah ia justru mendapat pesan Tuhan melalui mimpi untuk merelakannya. "Anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku mengorbankanmu. Bagaimana menurutmu, Nak?" "Wahai Ayah, lakukanlah seperti apa yang diperintahkan Allah. Jika Allah yang berkehendak, niscaya aku akan bersabar." 

Begitulah, romantis sekali cinta kedua anak dan bapak itu untuk Tuhannya.

"Bukanlah daging/darah yang kau korbankan itu yang akan mencapai Allah, hnanya ketakwaan (keimanan)mu yang akan mencapainya..." (Al Quran)

Allah ingin kita belajar dari Ibrahim, kerelaaannya mengorbankan anak yang disayanginya. Dalam sepuluh hari ini, the ten days, al ayyamul ashr, yang lebih utama dari sepulluh malam utama, doa-doa diijabah oleh-Nya. The days of eating, drinking, and most of it, remembrance of Allah. Kita punya tugas besar bersama dalam waktu kurang labih 10 hari ini. Apa yang bisa kita korbankan untuk Allah? Pertanyaan besar yang hanya kita yang bisa menjawabnya. Aku bergetar dengan kata-kata yang keluar dari mulut penuh dosa ini. Sesuatu yang kita sayangi hingga kita berani mengatakan, "Wahai Allah, inilah hal yang begitu aku sayangi, yang mungkin telah menghalangiku untuk selalu mendekati-Mu. sungguh kuatkan aku untuk mrelakan hal ini untuk mendekat kepada-Mu." 

Hening. Kalian mendadak diam. Kita sama-sama terpaku. Berat sekali menyampaikan ini karena aku pun masih mencoba melakukannya. Merenungkan dan mengorbankan apa-apa yang selama ini menghalangiku untuk mendekati-Mu. Waktu menghadap-Mu yang  masih kutunda. Hati yang berdebu. Mulut, mata, tangan, ya Allah semuanya milik-Mu. Apa yang bisa kurelakan? Semoga Engkau pun rela membersihkannya dan menguatkan setiap kami yang begitu lemah. Dan menguatkanku untuk benar-benar merelakanmu.

"Liabilities are probable future sacrifices of economic benefits, arising from present obligations of a particular entity to transfer assets or provide services to other entities in the future as aresult of past transactions or events." (Porwal, 2011) 

Pada intinya dalam perspektif akuntan libailitas (kewajiban) manusia kepada Allah, beribadah kepada Allah, adalah pengorbanan paling sederhana yang bisa dilakukan seorang manusia. Sebuah pengorbanan yang kita sadari bahwa yang kita miliki adalah liabilitas, hanyalah titipan, yang kelak akan dimintai pertanggungjwabannya kepada sang pemilik sejati, Allahu rabbi. Astaghfirullahal'adhiim. Apa yang telah kami lakukan selama ini?

Kini Idul Adha tiba. Wahai Allah, Pemilik segala, dan Arsy yang meliputi langit dan bumi, jadikanlah kami selalu belajar merelakan. Mengorbankan apa-apa yang sejatinya bukanlah milik kami. 

Wallahua'lam bishawab.

Aku meninggalkan gedung tua penuh cerita dengan perasaan yang bercampur-campur. Pikiranku berkelana mengikuti langkah kaki yang mulai menjauh. Betapa banyak yang harus kupelajari dan kuubah untuk mengorbankan, merelakan, dan menerima semuanya. Apakah yang bisa kukorbankan? Adakah sesutau yang layak dan sanggup kukorbankan? Sebab Engkau sama sekali tak membutuhkan pengorbanan itu. Bukan darah, bukan daging, bukan apapun yang akan mencapai-Mu. Lalu, kuatkah aku menjaga iman-the piety-the devotion, sebagai satu-satunya yang mampu mendekatkan kepada-Mu? Betapa aku masih begitu jauh...



Thursday, October 2, 2014

Percakapan Hujan

Hujan yang jatuh tak pernah benar-benar jatuh. Ia akan tumbuh. Airnya diserap akar pohon. Lalu, ia tumbuh. Hingga benar-benar mekar.
Titik-titik air langit seolah meluncur lepas.
Jatuh bebas.
Syahdu.

Tunggu, ini bukan bulan Juni.
Sama sekali bukan.
Lalu, mengapa rasa-rasanya seperti Hujan Bulan Juni? [1]

Pun ketika menatap langit dan bertanya.
Langit tak benar-benar menjawabnya.
Dia hanya tersenyum dengan seulas pelangi di wajahnya.

Pelangi selepas hujan turun...
Eh, itukah jawabannya?
Aku tak mengerti.
Hei langit, mengapa kau begitu pandai menyimpan rahasia?
Barangkali aku tak cukup mengerti bahasa langit.

Dan, hujan yang jatuh itu...
Kau tahu, kau tak pernah benar-benar jatuh.
Sebab setiap saat kau jatuh, kau akan selalu tumbuh.

Mengapa kau tumbuh?
Karena airmu diserap akar-akar pohon.
Niscaya, kau hidupkan bumi ini.
Jadi kau tahu, kau benar-benar tumbuh.
Kau hanya perlu waktu untuk benar-benar mekar.

Udara membawa pesan dari langit
Seperti radiasi yang menghantarkan
uap hujan kembali mengangkasa

Bukankah bahagia itu sederhana?
Sesederhana percakapan hujan
dan semerbak aroma hujan yang tersisa.
***

Oktober, sudahkah memasuki musim penghujan? Namun, hujan tak kunjung turun. Padahal hujan begitu menenangkan. Dan bukankah salah satu waktu mustajab untuk doa adalah di kala hujan? Lalu, kapan ia akan turun, biarlah menjadi rahasia langit.

Paket buku yang baru sampai pekan ini membuat saya terinspirasi menulis puisi (lagi) setelah beberapa hari lalu menulis juga hehehe. Tidak semua tulisan di-publish di sini. Selain juga ingin melarikan diri sejenak karena sudah lelah mentadaburi Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) yang jumlahnya delapan dengan tingkat bahasa yang oh well...

Ngomong-ngomong, jika akuntansi dan audit memiliki standar dan kode etik, bagaimana dengan puisi? Ada sih semacam... seperti di surat Asy Syuara pernah kok ditulis di blog ini. Tapi yang paling menarik dari puisi ialah bebas untuk diinterpretasi oleh pembaca. Apapun, semoga puisi ini cukup mutiperspektif jadi interpretasinya lebih leluasa bebas deh, mau diartikan apa menyesuaikan keinginan dan kondisi pembaca.

Kalau ingin tahu interpretasi penulis terhadap puisi ini... Biarlah jadi rahasia antara langit dan hujan saja. Hehe. Tidak ada hujan tidak ada apa. Hanya sedang ingin bercakap-cakap dengan hujan. Tapi kok nggak ada hujan ya. Lagi-lagi absurd. Selamat menikmati percakapan dengan hujan (buatan). :)


[1] "Hujan Bulan Juni" puisi karya Sapardi Djoko Damono, 1989