Aku menikmati musim semi ketika langit bersemburat cerah
mentari yang hendak menghampiri peraduan setelah kebekuan bulan-bulan sendu.
Nyanyian senja burung-burung beterbangan kian kemari. Wangi bebungaan yang
menyembul di antara salju yang telah meleleh meresap ke dalam tanah bumi.
Pesona semi yang kunanti dalam senyum mahkota snow drops, bleeding heart, dan forget-me-not.1
Kuhampiri
sebatang pohon rimbun. Pohon maple.
Kurebahkan tubuhku di sekitar bayang-bayang senjanya. Menengadah pada langit
biru. Langit luas yang membentang indah. Biru cerah dengan semburat awan putih
tampak halus terkuas di atas sana. Oh
senja, aku merasa tenang menatap langit yang satu menaungi segala insan bumi.
Mengalun rindu lagu Home and the Heartland yang berdetak merdu di dalam dada. Dalam alunan Celtic yang mendayu dan perlahan memejamkan mataku, terbayang seraut
senyum terlukis di sana. Aku pun menyapanya. Apa engkau juga melihat bayangan dan senyumku di langitmu sana?
***
Kugandeng
tubuh mungil itu menyusuri jalan setapak di antara persawahan yang tepiannya
dirimbuni ilalang dan tanaman liar. Kubimbing ia menuju bangku peradaban masa
depan, bangku persekolahan yang kuharap akan mengajarkannya sepercik kehidupan.
Hujan tadi malam menyisakan tanah terjal berliku menjadi
becek dan liat. Aku mendesah di antara suara derap langkah kami. Bergidik
setiap kali menjumpai sebentuk cacing menggeliat geli di atas tanah habitatnya.
Demi apakah semua ini? Demi sawah yang teraliri air, tanaman bawang yang tumbuh
subur, dan tentu saja bulir padi berisi yang siap dipanen. Demi roda kehidupan
yang terus berputar agar tak berhenti ketika berada di bawah.
***
Tangan yang berada dalam gandenganku kini adalah tangan
bermata biru. Tangan gadis cilik yang selalu ceria. Ia menggendong tas sekolah
warna merah muda kesukaannya dan menggengam buku jurnal anak-anak Junie B. Jones bergambar
gadis SD pintar berkaca mata.
Sebelum
aku melepasnya di gerbang sekolah, ia mendekatiku dan membisikkan sesuatu di
telingaku. Ia ingin aku menjaga rahasianya jika sepulang sekolah ini, ia akan
memetik bunga mawar kesukaan sang mama. Aku pun tersenyum.
***
Lima tahun
sudah roda waktu berputar. Lima tahun lalu yang tak pernah hilang dari
ingatanku. Ketika pagi itu, ia tak ingin beranjak dari tempat tidurnya.
Kebiasaannya menyusuri jalanan sawah, mencari buah ceplukan2, dan memberi makan lele seperti hilang begitu
saja karena demam semalam. Tanpa firasat apapun, kuelus lembut kepalanya dan
kubiarkan ia kembali terlelap.
Saat itu pukul 5.30. Aku pun beranjak menuju pinggir
sawah tempat para petani menebas padi. Beberapa saat kemudian, ketika aku
tengah sibuk mengumpulkan rerumputan untuk sarapan si Bonar sapi piaraan kami,
tiba-tiba tanah tempatku berpijak seperti tak lagi datar dan mengayun-ayun
kasar. Aku terjerembab berkali-kali. Aku mengaduh. Berlari meski jatuh berulang
kali. Yang terpikir olehku hanyalah si genduk
alit3, Desi.
Bak sekumpulan lebah yang beterbangan dari sarangnya,
orang-orang berhamburan kesetanan. Di antara reruntuhan. Pun dengan bangunan
yang empat puluh menit lalu adalah naungan kami. Tinggal puing-puing yang
mengubur memori. Permataku, Desi Permatasari.
Di mana engkau, Nak? Ibu di sini, ibu kembali. Hiruk pikuk orang-orang
kebingungan mencari pertolongan. Aku tersungkur lemah mendapati permata kecilku
ditemukan di balik timbunan rumah kecil kami. Tak ada tangisan pecah darinya.
Tubuh kecil itu tak bergerak, berlumuran darah. Permataku, mengapa begitu cepat kau temui ayahmu dan meninggalkan ibu
sendiri?
***
Hari-hari kulewati tanpa tawa polosnya, tangis manjanya,
dan nyanyian kecilnya. Ada yang hilang dalam hidupku. Dalam derap langkahku di
pematang sawah, seraut senyum mentari pagi yang terasa kelu, dan malam-malam yang
berdendang tanpa suara. Sepi tak terperi. Aku terus bertanya pada-Nya. Tuhan, mengapa kau ambil ia dariku?
Setahun kepergian sang permata, aku berniat mengambil
kesempatan untuk bekerja sebagai
pengajar di sebuah sekolah di lain benua. Walla
Walla Elementary School. Sekolah taman kanak dan sekolah dasar. Aku mencermati sebuah aplikasi lengkap tempatku akan
mengajar. Terselip foto manis gadis lima tahun dengan senyumnya yang menyapa jiwa. Ada binar di
hatiku. Mungkin kesempatan untuk mengubur kepedihan. Menghirup udara di tanah
seberang. Melihat dunia dan merangkulnya dengan cinta yang masih ada. Tuhan
menjawabku dengan kehidupan dunia yang masih membutuhkan dekapan cinta. Bahwa
selamanya cinta akan menyala dalam hidup dan mati. Saling mencahayai. Walla Walla4, aku akan membuka
lembar kehidupan baru dengan penuh cinta di kotamu, kota kecil tempat air
mengalir.
***
Semi yang tersisa di bulan Mei. Ia berlari di antara tupai-tupai kecil yang
berkejaran di rerumputan taman kota. Dengan langkah malu-malu, ia membawa
seikat bleeding heart warna merah
muda dan putih salju yang ia pilihkan untukku. Aku tersenyum menyambutnya
dengan serangkul kasih. Meski ia bukanlah siapa-siapaku. Aku merasakan ikatan
yang teramat sangat. Daisy dan Desi. Dua nama itu menggema di hatiku. Aku
merasakan ruh permataku seakan bersemayam dalam senyum manisnya, tawa polosnya,
dan kebeningan hatinya.
Dalam
pelukanku, gadis kecil bermata biru itu membisik lirih, “Bleeding heart, please say my love to Desi, our family, our deepest
feeling and sympathy.”5
***
1nama bunga-bunga yang biasa mekar pada musim semi di kawasan Washington,
Amerika Serikat
2tanaman liar yang banyak tumbuh di dekat sawah memiliki
buah berbentuk bulat kecil berwarna hijau.
3anak kecil (biasa digunakan sebagai panggilan sayang
kepada anak dalam bahasa Jawa)
4(bahasa Indian: sumber air); sebuah kota kecil di bagian
northwest (barat daya) Washington State.
5”Bleeding heart, sampaikanlah cintaku kepada Desi,
keluarga kami, perasaan dan simpati terdalam kami.”
Catatan ini ditulis:
sebuah refleksi 5 tahun tanggal 27 Mei 2006/2011
dimuat di blog sebagai refleksi kembali :)
No comments:
Post a Comment