Vira Cla; Self Publishing Model Print on Demand itu Passive Income
by Rusdianto
” Self Publishing model print on demand (PoD) bisa dijadikan sebagai passive income.
Kita seperti punya investasi, tiap ada yang beli, kita pun jadi tambah
pemasukan. Waktunya tidak terbatas. Sampai kapan pun kita mau, kita
tetap bisa mencetak dan menjualnya. Tidak ada alasan “sudah tidak cetak
lagi” seperti di penerbit mainstream “
Saya mengenal Vira Cla, penulis buku antologi cerpen ‘Lajang Jalang’, pertama kali melalui tulisan-tulisannya di blog social media Kompasiana.
Latar belakang denstistry di Univeristy of
Indonesia (2005) tidak membuat wanita kelahiran Padang, 26 Oktober ini
kekurangan gagasan -dan waktu-, untuk memproduksi karya-karya fiksi, dengan mutu relatif terjaga.
Tapi, saat seorang kawan meneruskan ‘undangan’ dari
nulisbuku.com (
online publishing), yang menantang para penulis untuk mengikuti hajatan ‘
99 Writers in 9 Days’, saya tidak menyangka 1 dari 99 penulis yang berhasil menjawab tantangan tersebut adalah Vira Cla.
Profesi Dentist tidak lantas menyurutkan
niatnya –juga- untuk menjadi penulis professional (anda tahu, Jhon
Grisham adalah seorang lawyer).
Sebagaimana lazimnya orang Padang yang ramah, terbuka, lagi jenaka, Vira Cla mau mengiyakan permintaan wawancara tertulis dari saya.
Dia membuka segala seluk beluk mengenai self publishing berbasis online dalam format print on demand (PoD).
Sebagai pelaku –pionir-, pengalaman Vira Cla sangat berguna bagi anda yang ingin mengetahui cara menerbitkan buku secara indpenden. Berikut petikannya :
T : Apa yang melatarbelakangi anda termotivasi menerbitkan buku di jalur self Publishing model PoD ?
J : Kesempatan. Sebuah layanan jasa self-publishing yang saya kenal lewat twiter yaitu @nulisbuku mengadakan acara “99 Writers in 9 Days”.
Acara ini menantang penulis pemula maupun
profesional untuk menyiapkan naskah siap cetak termasuk desain cover
dalam tenggat waktu 9 hari.
Kebetulan saya punya beberapa cerpen
yang secara garis besar setema, ya sudah, saya kumpulkanlah menjadi
naskah buku. Jadi, ya, buku tersebut memang sebagai jawaban atas
tantangan itu, selain karena saya sebenarnya juga pernah niat mau
membukukan kumpulan cerpen saya.
T : Ada kesan bahwa produk Self
Publishing model PoD tidak ketat dalam soal mutu, sebagai imbalan atas
terbebasnya pihak penerbit dari biaya promosi dan distribusi. Menurut
anda ?
J : Penyeleksian mutu tidak ketat ya mungkin, tapi tetap ada, kok. Saat itu saya punya beberapa cerpen, tetap saja saya harus memilah mana yang kira-kira layak “dijual”.
Intinya jaminan mutu memang dari penulis saja. Sehingga siapa pun bisa menerbitkan buku.
T : Muncul persepsi dalam masyarakat bahwa mutu produk penerbit mainstream relatif lebih terjaga ?
J : Kalau dibilang mutu produk penerbit
mainstream lebih terjaga, bisa jadi karena ekspansi pasarnya luas.
Masyarakat lebih banyak disuguhkan produk-produk mainstream dengan
penulis-penulis yang sudah punya nama.
Kesannya ya itulah yang bermutu. Padahal produk self-publishing nggak kalah, lho, mutunya.
T : Tidakkah anda merasa bahwa
nulisbuku.com telah memindahkan beban biaya promosi dan distribusi ke
tangan penulis bersangkutan. Lalu apa keuntungan terbesar yang bisa
diperoleh penulis ?
J : Namanya juga self-publishing. Nulisbuku.com hanya jasa layanan bagi penulis yang tidak punya modal untuk menerbitkan bukunya ( self publishing company ), karena itu ia pakai sistem Print on Demand walaupun ongkos produksi tentu lebih mahal daripada cetak banyak di tempat percetakan.
Selain itu, semua hal yang terkait
penerbitan buku jadi kerjaan kita sendiri. Mengambil langkah self-publishing berarti kita sudah siap untuk jadi
writerpreneur sejati. Kita menulis, kita pun menjual.
Biaya promosi dan distribusi akan kita tanggung sendiri, atau kalau “pinter” bisa ditanggung pembeli buku kita. Hehehe..
Keuntungan terbesarnya ya kita bisa
menerbitkan buku apa saja tanpa harus menunggu berlama-lama naskah kita
“diendapkan” di meja redaksi penerbit mainstream.
T : Betulkah niat penulis
menempuh jalur self publishing model PoD semata-mata demi kepuasan
pribadi, dengan menafikan motif ekonomi (royalty)
J : Bagi saya, ya ini kepuasan pribadi.
Saya telah diberi kesempatan untuk berkarya dan untuk menyajikan karya
tersebut kepada siapa pun.
Sebagai seorang yang ingin jadi penulis
profesional, inilah langkah awal saya untuk menuju dunia kepenulisan
serius. Dan, kesempatan itu datang lewat Nulisbuku.com.
Kalau saya melewatkan kesempatan itu, mungkin saat ini saya belum menerbitkan buku apa pun. Hahaha..
T : Ada kecenderungan self
publishing model PoD hanya dijadikan batu loncatan oleh penulis untuk
membangun personal brand. Tujuan utamanya adalah –tetap- menembus
penerbit mainstream.
J : Ya. Saya tidak membantah pernyataan
ini. Saya tetap ingin menembus penerbit mainstream. Selain ekspansi
pasarnya lebih luas, buku kita juga dicetak dalam skala besar,
masyarakat juga masih percaya dengan kualitas yang terjamin dari
penerbit mainstream.
Produk self-publishing, apalagi dengan sistem Print on Demand, masyarakat tampaknya masih setengah hati menerima.
T : Betulkan penulis yang memilih online publisher –lebih- karena ketidakmampuan ‘mengakses’ penerbit mainstream ?
J : Masalah kesempatan saja kali, ya. Ada penulis yang ketemu peluangnya di online publisher, nggak sabar pengen nerbitin buku, ya jadilah nerbitin buku lewat online publisher, seperti saya ini.
Ada juga penulis yang memang niat dari awal
harus di penerbit mainstream. Selain itu, masalah prioritas pilihan
juga. Kalau sudah usaha menembus penerbit mainstream tapi nggak lolos
juga, tapi tetap mau terbitin buku, ya lewat online publisher atau self-publishing.
Sebenarnya, buku apa saja, menurut saya
pantas untuk diedarkan. Masalahnya, penerbit mainstream sudah punya
batasan tersendiri berapa banyak buku yang bisa diterbitkan, padahal
jumlah naskah yang masuk melebihi kuota dari penerbit. Ya sudah, jadilah
banyak naskah yang ditolak.
Belum lagi, penulis Indonesia harus
bersaing dengan penulis impor untuk mendapatkan kuota dari penerbit.
Apalagi naskah dari penulis yang tak punya nama, semakin sulitlah untuk
membuka akses ke penerbit mainstream walaupun peluang itu selalu ada.
T : Dalam salah satu artikel di
blog Kompasiana, anda masih berharap bisa menembus penerbit mainstream,
kenapa ? Apa karena online publisher kurang prestisius, atau karena
persoalan ongkos produksi (beban promosi dan distribusi) vs royalty ?
J : Kurang prestisius? Nggak juga. Saya tetap bangga, kok, bisa nerbitin buku dengan sampul depan ada nama saya.
Saya tetap berharap bisa menembus penerbit
mainstream karena saya ingin buku saya tak hanya dibaca oleh segelintir
orang. Saya ingin buku saya dicetak banyak, lalu disebarkan ke seluruh
pelosok Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Saya juga ingin punya peluang untuk
mengenalkan nama saya sebagai penulis. Saya ingin terkenal karena karya
saya seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Clara Ng, Dee Lestari, dan
menjadi inspirasi buat orang-orang untuk berkarya.
Intinya, sih, saya ingin karya saya dibaca
banyak orang. Hehehe… Kalau masalah ongkos produksi vs royalti, lewat
self-publishing bisa lebih untung, lho, asal pinter ngitung. Lagian,
saya capek ke kantor pos mulu. Hahaha…
T : Apa kendala terberat menerbitkan buku dijalur online publisher (nulisbuku.com)?
J : Promosi dan distribusi. Buku saya memang terpajang di online store nulisbuku.com, tapi untuk mempromosikan harus dari saya yang proaktif.
Sejauh ini, saya hanya mempromosikan lewat
social media yang saya punya. Lewat twitter dengan follower hanya
200-an. Lewat facebook dengan jumlah teman 800-an, lewat kompasiana
dengan orang-orang yang membacanya sambil lalu.
Jadi, bayangkan saja, hanya kepada kesekian
orang itulah saya gencar jualin buku. Dan, bagi saya ini tantangan
berat, bagaimana lagi caranya untuk menyebarkan info buku saya ke
jejaring-jejaring maya lainnya. Karena, lewat social media atau apa pun
selagi di dunia maya ini, berita itu lebih cepat tersebar dan
jangkauannya bisa jadi sangat luas.
Ini yang saya harapkan bisa kesampaian
untuk buku yang terbit di nulisbuku.com. Kemudian untuk distribusi,
haduh, capek deh kirim lewat pos. Ketemunya Pak Pos lagi, Pak Pos lagi..
Pak Pos sampai bosan sama saya kirim paket melulu. Hahaha…
Kendala lainnya, masyarakat kita tuh masih
malas beli lewat online. Kalau saya perhatikan, cukup banyak yang
tertarik beli buku “Lajang Jalang”, mereka bertanya-tanya apakah dijual
di toko-toko buku, kalau sudah dapat jawaban ‘tidak’, yah, saya pun
harus siap-siap kemungkinan kehilangan calon pembeli.
Maaf, saya curcol. Hehehe..
Bagi anda yang berminat membaca antologi
cerpen’ Lajang Jalang’ karya Vira Cla, bisa memesannya secara online di
nulisbuku.com atau menghubungi penulisnya lansung :
Vira Cla.
T :Self
Publishing dalam format Print on Demand (PoD) memudahkan setiap orang
untuk menerbitkan bukunya sendiri. Tapi menyulitkan disisi lain, karena
penulis harus terlibat aktif memasarkan bukunya. Anda punya solusi ?
J : Solusinya hanya satu, ikhlaskan saja.
Hahaha.. Percayalah, kerelaan kita memasarkan buku ini akan membuahkan
hasil suatu saat nanti. Lakukan saja dengan hati riang.
Penulis yang baik itu adalah pemasar yang baik. Jadilah writerpreneur. Yang bukunya terbit di penerbit mainstream aja tetep ikut memasarkan bukunya, kok. Lihat saja Raditya Dika.
T : Sebagai bisnis, mungkinkah
online publisher model PoD kelak bertahan atau bertumbuh secara
signifikan ditengah industri penerbitan yang didominasi oleh penerbit
konvensional.
J : Pasti bertahan! Dan akan bisa bertumbuh
menyaingi penerbit konvensional. Masyarakat diharapkan makin giat
membaca. Kebutuhan akan buku makin meningkat.
Banyak juga yang kian rajin menulis, lihat
saja gejala blogging, tulisan-tulisan yang selayaknya dibukukan. Tentu
dengan kuota terbatas yang dimiliki penerbit konvensional, mau tak mau online publisher sistem PoD akan jadi pilihan.
T : Dapatkah seorang penulis mengharapkan penghasilan yang signifikan jika menempuh jalur Self Publishing model PoD
J : Penghasilan yang signifikan untuk hidup mewah? Tentu tidak! Hahaha…
Self-Publishing model PoD hanya bisa dijadikan sebagai
passive income.
Kita seperti punya investasi, tiap ada yang
beli, kita pun jadi tambah pemasukan. Waktunya tidak terbatas. Sampai
kapan pun kita mau, kita tetap bisa mencetak dan menjualnya. Tidak ada
alasan “sudah tidak cetak lagi” seperti di penerbit mainstream.
T : Ada indikasi, model PoD
hanya strategi bisnis dengan memanfaatkan kecenderungan psikologis
penulis untuk membeli bukunya sendiri lalu kemudian menjualnya kembali.
Anda sendiri melakukannya, bukan ? (seperti dalam artikel anda di blog
Kompasiana). Tanggapan anda ?
J : Ya, saya melakukan itu. Bisnis memang
kejam, ya?! Hahaha.. Tapi, saya nggak ambil pusing masalah itu. Mereka
melakukan pekerjaan mereka sebagai pebisnis semata.
Saya pun melakukan pekerjaan saya sebagai penulis, juga pebisnis. Saya rasa cukup adil.
T : Kalau boleh tahu, sudah berapa eksemplar buku “ Lajang Jalang “ terjual ?
J : Wah, rahasia perusahaan, nih! Hmm, saya kurang tahu, apakah jumlah ini menyedihkan atau cukup menyenangkan bagi anda.
Tapi setidaknya sudah lewat angka 50 sejak terbit Oktober 2010 lalu.
T : Berapa perbandingan pembelian lansung ke nulisbuku.com (online) dengan yang anda pasarkan sendiri secara lansung.
J : Saya belum dapat info terbaru dari
nulisbuku.com. Tapi, sejauh ini, perbandingannya 3 : 51. Yah, ketahuan
deh sudah kejual berapa. Hahaha…
Saya sendiri waktu tahu berapa yang
terjual lewat nulisbuku.com cukup kaget. Saya sampai harus hela napas
panjang, hmm, it’s a really-really-really self-publishing.
Perlu diketahui, nulisbuku.com sendiri
sudah dapat pembagian 40% dari keuntungan buku yang terjual. Jadi,
misalkan harga buku 30.000, ongkos produksi 20.000, sisanya 10.000
dibagi 4.000 untuk nulisbuku.com dan 6.000 untuk penulis.
Well, penulis harus membayar 4.000 untuk memajang bukunya di online store nulisbuku.com.
T : Jika tidak sesuai target
yang anda harapkan, apakah anda masih berniat menerbitkan buku –lagi-
melalui nulisbuku.com, atau anda kembali berusaha menembus penerbit
mainstream ?
J : Untuk buku “Lajang Jalang” saya akan
bertahan terus di Nulisbuku.com kalau tidak ada penerbit mainstream yang
datang sendiri ke saya untuk menerbitkan buku ini. Saya sudah jadikan
buku ini sebagai salah satu passive income saya.
Selain itu, ya, saya tetap usaha menembus
penerbit mainstream. Nulisbuku.com biarlah jadi pilihan kedua. Hehehe…
Karena, dari kultwit @hesti seorang editor di penerbit mainstream, kalau
kita sudah kelamaan jadi penulis self-publishing lebih dari 2 buku,
penerbit mainstream biasanya sudah malas menerbitkan buku kita.
Kecuali buku self-publishing sudah terjual lebih dari 800 eksemplar, angka kesuksesan seorang self-publisher, itu bisa jadi posisi tawar yang bagus untuk diterbitkan penerbit mainstream.
T : Terakhir, apa pesan khusus anda bagi penulis yang ingin menerbitkan buku di jalur self publishing model PoD ?
J : Bersiaplah jadi pebisnis. You’re not only a writer, but you’re also an entrepreneur. Be a writerpreneur.
Dan, selayaknya bisnis. Anda bisa jadi rugi, atau malah untung besar! Perlu keberanian untuk itu. Self publishing model Print on Demand di Nulisbuku.com ini cocok untuk anda yang ingin “berbisnis” tanpa mengeluarkan modal.
Jadi, nggak ada ruginya, kan?! Hehehe..
* * *
Sumber: http://indonovel.com/self-publishing-print-on-demand-adalah-passive-income/