Ini adalah minggu tenang. Selingan di antara merampungkan kajian teori yang mengharuskan menamatkan minimal lima jurnal internasional untuk mata kuliah Metopen, saya iseng ingin sekali menuliskan sedikit pendapat mengenai pesta demokrasi di Indonesia. Jujur saja, mungkin saya tergolong orang yang cukup skeptis soal politik dan demokrasi di Indonesia. Entahlah bagaimana mengurainya. Karena itu bukan ranah saya. Tapi saya sama seperti jutaan rakyat lainnya yang mempunyai cita-cita untuk kejayaan nusantara (kok jadi mars Gadjah Mada ya haha).
Fenomena yang muncul adalah orang-orang berebutan mencalonkan diri dengan berbagai motif dan latar belakang yang berbeda tentunya. Hanya saja, menjadi pemimpin itu tidaklah sesederhana menjadi Indonesian idol yang siap dipilih demi popularitas. Integritas dan profesionalitas adalah proses. Pada ranah ini, saya hanya berharap setiap kita dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kita. Jujur, saya bukan orang besar dan punya kepemimpinan ideal, saya hanya sering berkaca pada diri sendiri. Saya merasa bersalah ketika keputusan yang saya ambil berdampak pada orang lain. Untuk semuanya yang pernah bekerja sama dan berhubungan dengan saya, terima kasih atas pelajaran dari kalian dan maafkan kekurangan saya :)
Ironisnya, pesta demokrasi terasa seperti ancaman belakangan. Bagaimana tidak, 40 kilometer/hari yang ditempuh seseorang yang ingin mencari ilmu (oops curcol) atau mereka yang setiap harinya menempuh perjalanan jauh untuk mencari nafkah untuk keluarganya dihadapkan pada ancaman jiwa atas kekacauan akibat kampanye dan perebutan kekuasaan. Mereka adalah rakyat juga. Namun, sampai kapan rakyat kita dibodohi dan digerakkan untuk sebuah ketidakberadaban? (waduh belibet bahasanya).
Tentang itu, saya ingin memulainya dari kepemimpinan. Indonesia ini luaaaas sekali, memimpin Indonesia pastilah sebuah kepercayaan dan tanggung jawab yang besar. Konsep pemimpin seperti yang disampaikan dalam kuliah subuh tadi pagi, pemimpin ialah mereka yang diberikan amanah karena dia dipercaya oleh masyarakat atas kapabilitas dan integritasnya. Dalam al-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim (mttafaq'alaih), pertanggungjawaban akan diminta kepada pemimpin yang diberikan amanah dan orang yang memberikan amanah kepada pemimpin terpilih. Bahkan disebutkan, lagi-lagi saya adalah tipe pendengar jadi bisa ditinjau ulang sumber dari riwayat haditsnya, Allah memampukan dan menolong orang yang diberi amanah. Namun, Allah akan membebankan amanah kepada orang yang meminta amanah (jabatan), ya jabatan itu diberikan tanpa bantuan-Nya. Mungkin detail dan penjelasannya bisa dibaca langsung tentang riwayat hadits tsb. Saya juga bukan ahlinya. Tapi dua hal ini begitu berat rasanya melihat konteks dan relevansi dengan saat ini.
Sejujurnya, bagian sepele, normatif, yang sangat esensial menurut saya adalah etika. Bagaimana ethics, above the law and beyond the ideals-kata dosen pengauditan semester lalu-seharusnya menjadi perhatian dalam pembentukan karakter dan attitude bangsa yang tentunya dibentuk oleh masyarakat kita. Pemilu sebagai proses pendidikan itu harus segera dibenahi. Bagaimana caranya, hmm mungkin normatif lagi. Kembali kepada kesadaran dan tentunya keteladanaan dari orang-orang yang sudah menjadi figur masyarakat. Mempertanggungjawabkan amanah kita entah sebagai pemilih atau yang dipilih. Karena setiap kita adalah pemimpin entah memilih atau dipilih. Hmm semoga ada pencerahan ya. Semoga Yogyakarta yang berhati nyaman pun dapat menjaga kenyamanan hatinya seiring transformasi yang terjadi. Untuk menengok bagaimana proses pemilu khususnya kampanye di negara lain, menarik juga menyimak artikel berikut ini:
Pada akhirnya, selamat memilih untuk Indonesia. Saya hanya iseng ingin menulis begini. Memaknai kembali makna pesta demokrasi melalui satu puisi yang ditulis sastrawan Taufik Ismail.
Taufik Ismail
abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu
kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima
puluh lima
merdeka
sejarah bangsa
sejarah kita
jujur dan adil
dilaksanakan
dilangsungkan
Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah
ditumpahkan
lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api
berkobar
sogok-sogokan
kecurangan
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias
senyuman
keganasan
berturutan
dalam ukuran
mereka kibarkan
dikobarkan
berkelahi dan
berbunuhan
dibakar puluhan
Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di
jalan, mereka sopan-
sopan
lapangan
melanggar semua aturan
tangan bendera
berkibaran
semboyan dan
slogan
melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan
diayunkan
Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan
kurasakan
Bangsaku.
*Puisi diunduh dari: http://www.lokerseni.web.id/2011/06/ketika-indonesia-dihormati-dunia.html
No comments:
Post a Comment