Ada yang
berdesir ketika kata ini tertangkap oleh mataku. Seperti ada angin yang
tiba-tiba berhembus dalam rongga dada dan jiwa. Seketika
pun tergetar oleh hembusannya. Well, awalnya adalah kata “artisan” yang berkali-kali muncul di Madre, kumpulan cerita Dee, buku yang sejatinya
terbit tahun lalu dan
baru sempat aku baca. Buku
ini ternyata berisi tulisan2 Dee yang beberapa sudah tak asing lagi bagiku semenjak
kesukaanku menghibur hati dengan blogwalking
di blog Dee.
Artisan
sangat mengusikku, terdengar seperti artis dan semacamnya. Setelah beberapa
kali kata itu muncul, Dee baru memberiku jawaban bahwa artisan itu jelas-jelas
bukan artis dalam pandangan awam. Tampaknya dia ingin membuat pembaca sepertiku
penasaran dengan makna kata itu. Dan dia benar-benar berhasil. Membeberkan
jawaban pada bagiann yang tepat.
Artisan
sesungguhnya bukan artis selebritis seperti pemhaman awamku pada awalnya. Artisan
adalah para pembuat roti. Terdengar special, ya? Padahal mungkin benak kita
berkata, pembuat roti itu apa coba, biasa saja. Tentu saja bread maker adalah suatu keahlian yang bukan main-main khususnya di
luar negeri sana, setahuku. Dan passion menjadi seorang artisan sangat dekat
denganku. Bukan karena aku pernah ingin menjadi seorang artisan, tapi lebih
karena orang-orang dekatku yang punya mimpi dan ambisi menjadi artisan adonan
roti, seperti cerita Madre-nya Dee. Sahabat
kecilku yang dulu menghabiskan waktu kecil bersamaku, sering main masak-masak
bersama. Saat itu juga, setelah menyelesaikan satu resep masakan dan roti di
rumahnya yang menurutku cukup mewah untuk kampong kecilku.. Ia berkata dengan
mantap kelak ingin buka pabrik roti. Kalau begitu, aku akan senang sekali
berkaunjung ke tempatnya setiap kali, mencicipi rotinya. Kami pun tertawa.
Orang
kedua setelahnya,
ialah mom. Artisan wanna
be yang aku akui kehebatannya. Yang selalu aku rindukan aroma adonan roti
panggangnya setiap pagi. Lama sekali aku tidak lagi menghirupi aroma khas itu
dan kelezatan roti buatannya. Ah, aku
jadi merindukanmu. Aku ingat di antara kesibukannya sebagai single parent, mother of kindergarten kids,
ayah sekaligus ibu, sahabat, guru, dan wanita hebat itu adalah artisan. You are really artisan. Buktinya aku
merindukanmu bersama aroma
khas roti buatanmu. Meskipun beberapa kali kau sempat gagal, entah gosong entah
kenapa, makin hari aku makin mencintai roti buatanmu. Masih ingat ketika kita
mengunjungi berbagai tempat bernuansa roti. Toko yang menjual peralatan
memasak, Le pacclier-toko kue tua ala Prancis di Seattle City, bagel, English muffin,
biscuits bersama selai raspberry atau strawberry, blue berry pancakes, homemade
pizza, Walla walla market dengan berbagai atribut memasak yang selalu membuatku
iri.. Hha, pasalnya, tradisi makan dan life
style orang kampong beda banget. Tak ada romansa yang sangat terasa seperti
di kota Walla Walla. Ya, stidaknya, romansa yang terasa berbeda. Celemek, sapu
tangan makan yang beraneka warna jumlah variasinya yang selalu menghiasi meja,
tisu bergamabar lucu-lucu tak pernah absen dari dapur dan meja makan. Walaupun
aku turuti saranmu membawa kenangan ini pulang dengan membeli celemek atau
aneka ragam sapu tangan makan tetap tak bisa menjadi bagian hidup kami. Kami
terlalu sederhana atau tepatnya terlalu tidak terbiasa hal tetek bengek semacam
itu. Makan ya makan. Masak ya masak. Tak perlu barang-barang seperti itu. Yang
menurutku di situlah cita rasa dan romanasa itu ada. Dalam kehangatan perapian,
cerita malam menghiasi waktu terindah bersama saat makan malam tiba. Cerita tentang
hari yang kita lalui. Dan,
dongeng sebelum tidur. Tentu saja suasana yang sangat kurindukan. Terutama
setelah kini aku tak bisa lagi menikmatinya. Tentu aku tak bisa memakasa hal
begini di tempat yang tak memiliki tradisi yang sama. Suata saat, jika Tuhan
mengijinkan, aku ingin menghidupkan cita rasa dan romansa di naunganku kelak.
Pasti menyenangkan. Rumah adalah istana. Setidaknya aku percaya itu. Seandainya
kita penghuninya mau membangun kastil itu bersama dengan kasih sayang.
Aku mulai
ngelantur. Kembali kepada artisan yang kukira artis pada awalnya. Ternyata aku
salah, terjebak dalam istilah. Dan seketika aku teringat kata artis, saat itu
juga aku ingat kata-katamu. “Isna, you are an artist!” Sungguh kata-kata itu
aku resapi dalam batinku berbeda dengan ungkapan orang-orang tempat asalku yang
mengatakan, “Ciee, isna artis!” Haha aku tak ingin menyalahkan mereka yang
mencoba mengungkapkan dan mengekspresikan hal ini terlepas niat dan ketulusan
mereka dalam memaknai ucapan mereka yang hanya Tuhan dan malaikat yang tahu.
Yang jelas ini (artist dan artis) dua kata secara bahasa sama tapi dalam
pemaknaan hatiku memiliki sense berbeda. Bagiku, being an artist means,
expressing yourself, being who you are. Dan ketulusan kata ini terasa dalam ketika
orang-orang khususnya mom dan Lili, mengungkapkannya padaku. Mengapa? Sebab aku
tak pernah ingin jadi artis. Mungkin aku punya potensi untuk itu. Dan setiap
orang pasti punya! Artis terasa hina buatku dan lingkungan asalku. Semacam idol
yang sesungguhnya seperti berhala, seperti dari satu sumber yang memaknai idol
adalah berhala. Meskipun dipuja, sama saja jadi berhala. Sama-sama hina. Sealin itu juga, ada banyak hal
dari dalam diri yang masih bisa dicari selain artis.
Sebenarnya ada asumsi yang salah tentang artis. An artist adalah seorang seniman, begitu aplikasi translasi dictionary di komputer berkata. Ketika kita mencari terjemahan dari idol yang muncul adalah berhala, yang selalu dipuja. Sedangkan, celebrity artinya orang yang terkenal. Jadi sejatinya artis, idol, dan celebrity memiliki makna yang berbeda.
Sebenarnya ada asumsi yang salah tentang artis. An artist adalah seorang seniman, begitu aplikasi translasi dictionary di komputer berkata. Ketika kita mencari terjemahan dari idol yang muncul adalah berhala, yang selalu dipuja. Sedangkan, celebrity artinya orang yang terkenal. Jadi sejatinya artis, idol, dan celebrity memiliki makna yang berbeda.
Sense-ku berubah
ketika mom yang mengatakan “You are a
good artist”. Sebab, an artist is more than just celebs yang in general
(though not all of them) sok penting dan sok tenar itu. Ya, aku tahu makna
mereka. Aku menjadi artis dengan hatiku denga cinta yang masih hidup dan
membuatku hidup. Ia hidup dalam senyum, air mata, puisi, lagu, dan
coretan lainnya. Buktinya, sebuah coretan sketsa pensilku bergambar seorang ibu
yang mendekap seorang gadis kecil, dialah mom dan Lili. Sketsaku, a fiddler on
the roof, buat papa setelah tiket menonton teater Fiddler on The Roof di
Spokane. Sebuah vas abstrak di kelas Pottery yang kupersembahkan untuk guru
sastra yang membuatku semakin cinta pada kekuatan kata, Ms. Dohe. Spring Morning ataupun Waltz in
A Minor saat recital. O Ina ni keke. Sigulempong. Dan setiap
rasa yang kita simpan dalam hati kita. Semuanya.
Indah.
Artist, setelah
pengembaraan setahunku dalam pencarian mozaikku, aku maknai sebagai seseorang yang
menjadi dirinya. That’s it. Jika Lili bercita-cita jadi artist, aku maknai
sebagai seorang seniman dengan lukisan tangannya, atau seniman apa adanya. Bedanya,
dia tau dan punya jalan untuk passion-nya itu. She’s lucky. Dia hidup dengan
dinding karya-nya, tempat di mana dia bisa memajang semua art stuff-nya, kamar
pribadinya, piano, dan cinta. Astaghfirullah, Tuhan lebih tahu dan adil. Aku tidak boleh merasa kurang
dengan apa yang kumiliki.
Tak seperti bintang di langit,
Tak seperti indah pelangi,
Karena diriku bukanlah mereka,
Ku apa adanya.
Menjadi diriku,
Dengan segala kekurangan,
Menjadi diriku atas
kelebihanku..
Tetap aku bangga atas apa yang
kupunya,
Setiap hari kunikmati anugerah
yang tlah kumiliki.. :)
-Edcoustic-
-Edcoustic-
Aku sangat
bangga pada Lili, kecerdasan dan bakatnya. Itu sudah cukup membuatku bahagia semestinya. Aku bersyikur
dengan ini semua. Karena dia telah menghidupkan jiwaku dengan impian dan
kepolosannya. Karena dia, aku belajar dan memahami cinta dan hidup. Karena mom,
aku yakin “I will, when I believe”
(lagunya Mariah Carey atau David Archuleta-When You Believe).
Yaaaaa..
semuanya adalah masa-masa yang menyenagkan meski mungkin hanya kenangan. Menjadi
Chairil Anwar dalam “Doa”-nya. Menjadi Taufik Ismail dalam “Stasiun Tugu” ataupun
Toto Sudarto Bachtiar dalam “Pahlawan Tak Dikenal.” Menjadi Sulis dalam sholawat
nabinya. Menjadi diriku dalam coretan-coretan.
Sayangnya,
artist adalah seniman yang di tempat asalku sense-nya berbeda. Mungkin
begitulah paradigma. Menjebak. Sulit memahaminya. Yang jelas, aku tak peduli
apakah aku artis atau artisan. Yang jelas, aku ingin hidupku seperti an artist
yang aku maknai
sebagai hidup sebagaimana dirinya dan mencari makna hidup dengan
hati untuk menemukan dirinya, scientist yang punya ilmu yang tau
bagaimana menjalani hidup, dan seorang yang beriman yang tau jalan pulang dan tempat
bernaung di manapun kaki ini menapak.
Aku tak
menyangsikan mereka. Aku benar-benar yakin dengan kata-kata mereka setelah
proses yang lama. Menggema dalam kesendirian dan perenungan. Memaknai ini semua
meski belum seutuhnya. Paradigma memang sangat menjebak. Aku mencoba meraba
dalam kegelapan paradigma. Sungguh ingatkan aku jika aku mulai terjebak dalam
paradigma atau bahkan dalam kebahagiaan semu. Tuhan, ingatkan aku hingga aku paham. Sebab aku tau aku hanya membutuhkan cahaya-Mu, bukan cahaya semu. Aku
mencari cahaya. Di manakah? Mungkin ada di dalam diriku sendiri. Di dalam hati
ini. Najma. Bintang yang mencahayai dirinya demi sinarnya yang akan mencahayai
sekelilingnya. Nurisma Najma Al-Batin. Tuhan, kuharap dengan Al-Batin yang
hanya Engkau yang memiliki. Cahaya itu hanyalah cinta-Mu. Al-Batin, cahaya yang
tersembunyi namun dekat, dekat dengan makhluk-Nya. Biarpun cahayaku tak
benderang, tersembunyi. Kuharap cahaya itu dekat dan mendekap kita dalam
dekapan cinta-Nya. :)
Yogyakarta, 10 Maret 2012
Catatan:
"madre" artinya ibu... sedangkan dalam cerita Dee, ternyata adalah adonan roti lol
No comments:
Post a Comment