teruntuk bapak penjual koran
di sebuah persimpangan
Di tengah hiruk pikuknya jalanan
Sepasang tangan hitam legam
dan sepasang bola mata
tatapan tajam itu pun menerawang
kendaraan acuh melintas silih berganti
Kadang di balik mobil-mobil itu
terdengar umpatan kesal
Tak jarang mobil-mobil itu menjerit keras
Suara klakson pun meraung dengan arogan
Seringkali tatapan mata merendahkan
Tatapan mata penuh iba
Tatapan mata penuh tanda tanya
tatapan mata yang kau temui setiap harinya
tatapan apapun itu
menjadi kawan baik yang selalu hangat kau sapa
Namun, setajam apapun tatapanmu
Sehangat apapun tatapanmu
Tatapan matamu datar, senyumanmu kelu
Entah apakah masih tersisa senyuman dalam benakmu
Ataukah senyuman itu telah
memudar
Entahlah, ada sesuatu yang menyeruak dari dadamu
Ah, mungkin saja mobil-mobil itu terlalu kencang
hingga tak terdengar dzikirmu di sepanjang jalan
mungkin asap jalanan pun terlalu tebal
hingga tak terlihat senyumanmu yang biru
pun urat-urat di wajahmu
dan keringat yang mengucur deras
Duhai bapak, apakah yang ada dalam benakmu
Mengapa seperti ada pesan yang tak kunjung tersampaikan
Adakah kau tahu ke mana pesan itu akan kau alamatkan
Jika kau tahu istri dan anak-anakmu mungkin menunggumu
Menunggumu pulang dengan sejuta harapan
Adakah kau ragu dengan harapan sederhana itu
Adakah kau tahu ketulusanmu mengalahkan
Silaunya matahari pagi itu
Rambu-rambu itu seperti tahu
Jalanan berjejal ini harus berhenti sementara
Agar ada irama di antara suara raungan
Dan ada jeda di antara kendaraan
Dan waktu yang terus berpacu
Aku hanya mematung lemah
menatap lekat rambu yang lampunya merah
lihatlah si merah itu tersenyum menang kepadaku
sambil ia sibuk menghitung mundur waktu
Aku pun terpaku membayangkan sarapan kuis pagi itu
Sedang sebagian alam pikiranku menerawang
sebuah kehidupan di balik tatapanmu
Tiba-tiba saja kau menghampiriku
Barangkali kau tahu bahwa pikiranku sedang melayang-layang
Tak kusangka kau benar-benar ingin menyampaikan pesan
Koran 30 April itu kau sodorkan kepadaku
Sambil bertanya, “Anak Ekonomi, Mbak?”
Aku pun takjub dan mengangguk pelan
Entah dari mana kau tahu itu
Tapi aku hanya kebetulan mengenakan jaket SEF-ku
Dan tentunya identitas itu tertutup tas besar
yang melekat di balik punggungku
entah bagaimana kau tahu
Lalu dengan tulus kau hanya mengatakan
“Ini buat mbak, buat dibaca-baca.”
Koran itu pun telah beralih di tanganku
Aku masih bingung sebenarnya
berusaha meyakinkan apa yang terjadi
merogoh dompet yang mulai menipis
Kau menolak, lantas pergi begitu saja
Aku menatap punggung itu penuh tanya
Apakah bapak tidak salah alamat
Sepertinya bapak berniat baik
Barangkali karena esok hari buruh
ia hadiahkan Koran itu pada anak ekonomi
Ah, lampu telah berganti hijau
Aku hanya menatap jauh-jauh punggungmu
Sungguh ada sesal dan rasa bersalah di hatiku
Semoga Allah menjagamu
Semoga ketulusanmu menjadi jalan
Bagi nikmat-Nya yang mengalir deras untukmu
***
Benar-benar hari yang unik. Teringat kembali saat dulu masih
menikmati jadi pejalan kaki. Saat senja tiba, menyusuri sepanjang jalan Kotabaru adalah kenikmatan tersendiri. Menghabiskan waktu menikmati jalanan. Kadang aku suka menghampiri
anak-anak yang berjualan koran di persimpangan jalan atau mereka yang
duduk-duduk di samping Gramedia (dulu belum ada togamas sih di Kotabaru). Terima kasih Pedes (tim debat sma) yang kala itu telah memaksaku mendapatkan
Koran-koran yang dijajakan anak-anak itu yang lumayan dijual dengan harga miring pada
sore hari. Ah, sepertinya sudah lama meninggal kebiasaan sederhana itu.
Barangkali pagi itu Tuhan ingin sedikit mengingatkanku agar aku tak lupa
fragmen-fragmen sederhana dan istimewa semacam itu.
No comments:
Post a Comment