“Sebenarnya, dalam Islam tidak ada pacaran sebelum pernikahan. Jadi ya jujur aku nggak mau capek ngejar siapa-siapa. True love yang sense-nya agak berbeda dengan kondisi pada umumnya. Agak ga masuk akal sih, tapi ya itulah belief.”
Sent. Jasa pesan pendek alias short message service itu pun berakhir panjang. Sebuah pengakuan.
Tak ada lagi pesan yang masuk setelah itu. Dialog yang berakhir menjadi monolog. Tak apa. Toh dia memang hanya ingin mengungkapkan itu menanggapi sms soal jodoh itu. Meskipun tetap saja pesan itu barangkali masih meninggalkan banyak tanda tanya bagi si penerima pesan. Semoga saja niatnya tidak salah. Semoga yang dilakukannya tidak sia-sia. Semoga tak ada hati yang tersakiti. Tidak ada lagi misunderstanding. Agar ada kelapangan setelah semuanya jelas dan gamblang.
Bahwa mencintai adalah sebuah komitmen, pengorbanan, dan ketulusan. Bahwa saling mencintai adalah kesucian bila semua berawal dari sebuah niat yang suci, menghambakan diri, mendekatkan setiap diri kepada-Nya dengan sebuah ikatan suci.
Siang bolong di tengah keheningan perpustakaan. Sebuah pesan masuk.
“Pacaran itu bagian yang sangat penting dalam hidupku... Jadi ya aku nggak mau juga sembarangan pacaran. Ya kalau bisa sih pacaran itu sekali aja seumur hidup. Maaf deh ya kalau kemarin-kemarin sempat membuatmu tidak nyaman.”
Sebuah balasan atas pengakuan yang baru sehari lalu diungkapkannya. Ketika seorang kawan lelaki itu tiba-tiba mengirim pesan kepadanya perihal jodoh dan pacaran. Tema yang sejak dulu agak dihindarinya. Dan kebaikannya seringkali membuatnya takut. Takut pada dosa kasat mata yang dapat saja muncul dalam hatinya.
“Hmmm... sejauh yang aku tahu, dalam Islam ada sih proses taaruf. Proses menuju jenjang pernikahan, yang memiliki adab-adab tertentu.”
Ia mencoba menetralisir suasana. Ah sudahlah. Ingin sekali dia mengatakan kata-kata Aini dalam CRC “Aku sudah punya Cinta yang lain.” Namun, ia sangat menghormati prinsip orang lain. Ia tahu betul setiap manusia mempunyai belief-nya masing-masing. Apalagi jika latar belakang dan kepercayaan yang dimiliki berbeda. Ia tergolong orang yang cukup mudah mentoleransi orang lain tetapi sangat sulit berdamai dan mentoleransi kesalahan dan ketidaksempurnaan diri sendiri.
Jujur ia sebenarnya merasa tak punya cukup ilmu tentang cinta. Ketika teman-teman SMA-nya begitu senang membicarakan hal itu, ia selalu menjadi pendengar. Bisa dibilang hingga usianya saat ini pun ia bisa dianggap cupu soal begitu. Bukan hanya karena orang seringkali menganggapnya masih terlalu muda karena mereka mengira dirinya masih di bawah umur, tetapi nyatanya orang-orang akan terkejut setelah mengetahui usianya sudah tak lagi kanak-kanak, sebuah fase menuju kedewasaan dan kematangan. Wajar saja jika hal itu belakangan sedikit mengusik kecupuannya.
Ya, bukannya ia tidak tahu bagaimana mencintai. Ia sama seperti manusia lainnya. Ia tahu bagaimana rasanya jatuh. Dan setiap yang jatuh itu, sehelai daun yang gugur sekalipun, semua atas kehendak-Nya. Ia hanya ingin menyimpannya baik-baik hingga saatnya tiba. Cinta itu fitrah. Jadi ia tidak ingin membuat sesuatu yang suci itu menjadi ternoda. Ia memang tak pernah paham soal pacaran karena ia tak pernah. Ia tak pernah berniat bermain-main soal hati. Pun untuk sekadar pacaran. Siapa yang dapat menjamin bahwa dengannya bisa saling menjaga? Siapa yang menjamin pacaran dapat menjaga kesucian cinta? Tak ada jaminan sama sekali.
Agar tidak ada hati yang tersakiti. Agar tidak ada hati yang menyesal nanti. Maka jika boleh ia memilih, ia memilih untuk tidak memiliki satu pun pemuja. Untuk apa memiliki pemuja? Tak akan pernah membuat diri ini mulia di hadapan-Nya. Dalam lika-liku yang ada, seringkali ia memilih mundur. Bukan mundur seperti pengecut yang mengalah sebelum perang. Ia memilih mundur karena yang di hadapannya terlalu samar hingga ia tidak ingin tenggelam. DTak jelas apa yang diperebutkan. Maka ia memilih mundur karena ia takut telah mempertuhankan sebuah peperangan yang sia-sia. Kadang ia tak yakin bahwa itu adalah medan peperangannya. Diam dan menjauh barangkali pilihan yang membuatnya damai dengan Tuhan dan dirinya sendiri. Pun jika itu benar medan peperangan, ia rela mati terbunuh. Baginya peperangan tak selamanya soal kemenangan. Ia adalah soal kesungguhan dan pengorbanan.Sungguh, mati dalam peperangan takkan membuat dirinya kehilangan derajat kemuliaan.
Semua sudah Allah tulis dalam Lauhul Mahfudz. Menjadi pribadi yang sebaik-baiknyalah yang harus dilakukan selama menunggu skenario Allah. Ia hanya menanti seseorang yang bersungguh-sungguh. Yang tidak perlu berbasa-basi. Yang bukan ingin memberinya harapan dan angan-angan. Yang dengan berani dan kesungguhan hati dan niat suci, mengakui di hadapan ayah, ibu, Allah, dan para malaikat, bahwa ia bukanlah pemuja tetapi seseorang yang siap menjaga, membagi, dan berjuang untuk meniti jalan menuju kepada-Nya ini bersama-sama dengan ikatan suci. Cinta yang meniti surga.
Bukan soal nyaman ataupun tidak nyaman. Sungguh, baginya cinta ialah ketetapan, keteguhan, dan iman. Kesungguhan dan kemampuan, niat dan tindakan. Merangkai cinta secara nyata, bukan sebatas angan. Ya, cinta yang meniti surga.
La marghubi illallah. la matlubi illallah. la mahbubi illallah. la ilaha illallah.
Bacaan lebih lanjut:
No comments:
Post a Comment