Gemetaran. Suaraku bergetar. Tubuh ini tidak lagi
bersahabat. Pening sekali. Aku kaget dan sangat menyesal. Baru saja aku memukul
meja dan berteriak kencang memecah keramaian yang semakin brutal. “Jika kalian
memang tidak mau mengerjakan, bisa kan tenang dan menghormati teman-teman yang
ingin mengerjakan?” Apa yang terjadi? Kenapa aku jadi begini?
Anak-anak laki-laki setengah remaja di hadapanku mulai
membrutal. Membawa korek api dan mengibaskan apinya seolah api adalah benda
yang sangat indah dan membuatnya bangga. Aku menelan ludah. Apa-apaan ini?
Momen-momen yang sangat emosional dan melelahkan. Tentu saja ini bukan pertemuan
pertama. Sebelum libuur lebaran, kami sudah pernah bertatap muka. Dan kelas ini
kelas V adalah kelas yang paling melelahkan. Anak-anak putrinya sangat rajin
sedangkan anak-anak putranya… Kelakuannya na’udzubillah seperti preman.
Aku memaksa mereka menulis. Ya, menulis apapun tentang
Lingkungan Sehat. Aku ingin seperti Suhada dalam Matahari di Atas Gilli, dia
akan membawa anak-anak Gilli menyusuri keindahan Gilli. Mengeksplorasi alam dan
menulisnya dalam kata-kata. Tapi semua desain program itu hanya mimpi. Sekolah
ini bahkan tak punya cukup taman hanya beberapa petak tanah dan gedung
seadanya. Tingkah mereka seolah-olah anak kota karena jalan raya di hadapan
sekolah itu jalan tol uatama penghubung langsung antara dua kota, Jogja dan
Magelang. Lalu, dengan kondisi begini melayani mereka tak semudah bayangan ku.
Awalnya aku menolak mengaplikasikan program menulis ini
untuk kelas V karena sejak pertama kali masuk di kelas itu untuk sosialisasi
menabung dan membuat celengan aku merasa tak sanggup menghadapi anak-anak itu.
Lalu, aku ingat Pak Markus wali kelasnya yang sangat sabar dan antusias meminta
kami mengajari Matematika, Pramuka, dan muka ramah dan selalu tenang itu.
Bagaimana beliau bisa menghadapi anak-anak itu setiap harinya? Sehari setelah
berteriak di hadapan mereka aku menyesal sekali. Tapi apa mereka bisa membaca
hati nurani? Atau bahkan mereka tak peduli? Bukankah kerasnya batu bisa
dilunakkan oleh air yang terus mengalir?
Akhrnya program ini pun tetap dijalankan di kelas V dan VI. Sedih
sebenarnya karena sesungguhnya aku berharap lebih dari seperti ini. Sedih
karena aku harus menyaksikan bahwa anak-anak itu telah salah mengonsumsi media
dan informasi. Apa kau tidak miris ketika menyaksikan betapa liarnya mereka
menulis k*mcil, c*u, dst, pada mading yang susah payah dibuatnya? Bahkan aku tidak tahu itu apa sampai temanku memberitahuku. Aku sudah
berkaca-kaca saat mereka memberontak. Tidak tahu lagi bagaimana cara meladeni
anak seperti itu. Yang jelas aku tidak mau terlihat lemah di hadapan mereka.
Karena dengan fisikku yang tampak kecil mereka sudah cukup bersikap
keterlaluan. Kami bersusah payah meminta mereka menghapus atau memotong
tulisan2 macam itu.
Namun, ada seorang anak di antara grup anak nakal itu yang
sungguh-sungguh menulis. Ketulusan itu bisa dibaca dengan hati tentu saja. Maka
di akhir program aku memberinya hadiah khusus. Terima kasih ya Nak, jadilah
diri sendiri.
Mungkin sejak kejadian itu aku berharap tidak akan kembali
ke kelas itu lagi. Tidak akan. Aku tidak mau lagi bertemu dan meladeni mereka.
Hari ini entah kenapa tiba-tiba anak-anak itu menghampiriku. Kapan mengisi
Kelas V lagi? Dan aku bilang programku tinggal untuk kelas Vi saja. Melihat
muka Inggit, Mahes, dan anak-anak lain yang kecewa aku tak tega. Aku pun
berkata, “Aku mau mengisi lagi kalo Pak Markus mengijinkan.” Mereka tiba-tiba
berlari ke arah ruang guru. Berteriak dari balik jendela kerja pak markus dan
kembali kepadaku dengan girang. Boleh Kak boleeeh kata pak Markus. Boleh? Baiklah.
Aku ingin bercerita tentang Rumah Tanpa Jendela, sebuah
judul film yang diangkat dari cerpen Rumah Rara yang ditulis Asma Nadia. Rumah
Rara dulu jaman SMP pernah baca di antologi cerpen yang ada di koleksi Perpusda
Bantul. Waktu itu asma Nadia belumlah seterkenal sekarang. Harapanku mereka
bisa melihat realita antara ketimpoangan yang ada dalam kehidupan. Mereka bisa
belajar ketulusan dan kesungguhan dalam meraih cita-cita meski dalam kondisi
sekurang apapun.
Aku takjub. Si bosnya geng anak putra itu tiba-tiba jadi
antusias mengikuti. Ada apa gerangan?
Malah anak-anak lainnya yg masih ngeyel ga mau ndengerin. Pada akhir kelas aku
bagikan sekotak tim tam yg tersimpan di tas untuk yg bisa menjawab
pertanyaanku. Mereka terlalu polos atau mereka terlalu cuek sampai tidak
mengerti apa makna rumah tanpa jendela? Tidak tahu presiden pertama Indonesia?
Miris karena mereka menjawab Soeharto presiden pertam a RI. Tapi aku bangga ada
anak laki-laki pendiam di kelas itu yang sepertinya sih sering dianiaya hehe
bisa menjawab nama pencipta lagu Indonesia Raya. Sedihnya dia ga bisa jawab
25x4. Lalu aku menyuruhnya menghitung perkalian di depan papan tulisa sampai
benar sampai semua anak sudah pulang duluan. Tuh kan bisa kalo berusaha.
Ketika anak-anak berebutan keluar untuk pulang, kami
menahannya dan meminta mereka untuk menutup dulu dengan doa. Aku tahu sekali
mereka tak saabar utk pulang. Berdoa sekejap berpura-pura seolah sudah berdoa
dengan posisi berdoa yang seenaknya, sangatlah tidak khidmat. Tentu saja mereka
takkan aku pernolehkan pulang sampai mereka berdoa sungguh sungguh. Akhirnya,
bos dari anak-anak itu pun dengan sikap serius memimpin doa. Tahukah Nak, aku
terharu. Terima kasih, lelah itu tiba-tiba hilang. Mungkin beginilah perasaan
guru-guru kami menghadapi anak-anak yang beraneka ragam.
:'))
ReplyDeleteterima kasih dek sudah mampir :)
Delete