Sebuah Ulasan Seminar dan Bedah Buku
“Mudah Memahami dan Menganalisis: Economic,
Sectoral, and Regional Indicators”
Rasanya selalu
bersemangat setiap kali mengikuti perkuliahan Prof. Mudrajad Kuncoro. Semester
lalu saya berkesempatan merasakan atmosfer kelas Perekonomian Indonesia yang
diampu beliau. Sensasi perkuliahan yang sangat menantang dan menyenangkan. Semangat
membaca, menulis, di sela ayat-ayat Quran yang disisipkan di setiap naskah
beliau, bersama gelak tawa canda humor beliau yang renyah adalah suasana kuliah
yang saya rindukan. Meskipun harus dihujat dan mengalami depresi mengahadapi tugas
presentasi tapi pengalaman itu worth it. Menggebu-gebu,
berapi-api, dan selalu diselingi humor yang menyegarkan. Apalagi dalam mata
kuliah ini tidak ada jurnal debit kredit, rasanya benar-benar merdeka (curhatan
anak Akuntansi yang sedikit desperate
memahami akuntansi keuangan). Grafik-grafik di slide presentasi beliau tampak
lebih menarik. Begitu pula, kata-kata beliau membuat jiwa serasa meregang
karena merasa tertantang.. :D
Kali ini
sebuah kesempatan yang amat menyenangkan. Saya berkesempatan menghadiri sebuah
seminar sekaligus launching buku
terbaru Prof. Mudrajad, buku ke-32 dari target beliau untuk mencapai 100 buku. Luar
biasa! Acara ini diadakan oleh Kantor Publikasi FEB UGM yang dipimpin oleh
Prof. Mudrajad. Saya beruntung sekali mendapat informasi mengenai acara ini
dari Dito. Terima kasih khusus saya sampaikan kepada Dito yang sudah memberi
kesempatan kepada kami mahasiswa untuk
turut hadir di Bangsal Mataram, Bank Indonesia dengan free.. :D
Keynote Speech oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Keynote
speech disampaikan oleh perwakilan Dewan Komisioner OJK, menggantikan Muliaman
D. Hadad. Beliau adalah anggota tim transisi BI-OJK, Pak Agus Siregar kalau
tidak salah. Menurut pemaparan beliau, diskusi mengenai Otoritas Jasa Keuangan
yang beroperasi mulai Januari 2013 ini memakan waktu hingga 12 tahun. RUU OJK
pun tercatat sebagai salah satu RUU yang pembahasannya memakan waktu yang amat
lama di negeri ini. Inisiasi mengenai pengadaan lemabaga pengawas independen
dicetuskan sejak rezim Habibie melalui UU 34 tahun (lupa) akan tetapi baru
dieksekusi Jnauari 2013 di rezim SBY. Meski telah berjalan pertengahan tahun,
pengawasan sektor perbankan baru akan dimulai akhir tahun ini atau menjelang
2014. Saat ini OJK masih terbatas mengawasi Bapepam LK. Ke depan pengawasan OJK
tak terbatas di ibu kota saja. Ada peluang adanya kantor-kantor cabang regional
OJK agar pengawasan lebih optimal.
Pertanyaan
yang sangat merisaukan saya sejak lama adalah proses transisi BI terhadap OJK.
Selama ini BI lah yang memiliki wewenang dalam hal regulasi dan pengawasan di
lemabga keuangan. Pengawasan ini dipindah-tangankan kepada OJK sehingga
penyerahan wewenang ini memerlukan suatu masa transisi. Menurut narasumber OJK,
setidaknya perlu 3 tahun pengawasan dari eks-BI. Koordinasi sebagai barang
mewah dalam kinerja pemerintah menjadi kunci keefektifan kebijakan.
Keterkaitan relasi anatar Muliaman Hadad
dengan wakil Dewan Komisioner (lupa nama beliau) yang merupakan eks-BI tentu
menjadi pemicu kondisi yang lebih koordinatif.
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah bagaimana independensi, integritas, dan
profesionalisme OJK ke depan? Apakah seperti KPK yang dicap tebang pilih tanam?
Apakah OJK dapat menjadi stabilator atau justru penghambat dalam penanganan
krisis dengan semakin ribet dan semrawutnya birokrasi dengan berbagai
kepentingan politik?
Entahlah.
Yang jelas narasumber mengatakan transition
risk menjadi tantangan tersendiri bagi OJK dalam proses transisi kewenangan
pengawasan tsb. Stabilisasi pereknomian menjadi isu utama yang sangat fragile. Hal ini disebabkan oleh
volatilitas perekonomian yang sangat rentan dalam masa implikasi wacana
kenaikan BBM dan transisi dalam masa pemerintahan republik ini. Oleh karena
itu, di tengah menghangatnya kondisi perpolitikan negeri dengan semakin
dekatnya pemilu 2014, pemegang kekuasaan terutama mereka yang memiliki
kewenangan dan kewajiban menjaga stabilitas ekonomi negeri ini perlu
memfokuskan diri dalam pembenahan dan penstabilan kondisi ekonomi dan keuangan
negeri.
Speaker: Bapak Tavip Ketua Bappeda DIY dan Prof. Mudrajad Kuncoro
Berikut adalah data-data menarik dari
DIY: Human Development Index (Indeks
Pembangunan Manusia) menduduki peringkat keempat se-Indonesia, propinsi dengan
pengangguran intelektual tertinggi di Indonesia, 9 propinsi terburuk dengan tingginya tingkat kemiskinan,
serta peringkat kedua dalam angka daya beli konsumen.
Data
di lapangan tersebut semestinya menjadi evaluasi bagi arah kebijakan. Prof.
Mudrajad menekankan perlunya reformasi dan deregulasi dari peraturan dan
perimbangan keuangan antara pusat-daerah melihat efektivitas dan kinerja
masing-masing daerah.
Prof.
Mudrajad menekankan perlunya fokus pemerintah pada keunggulan masing-masing
daerah-regional-ataupun provinsi. Indikator ekonomi menjadi mata rantai arah
kebijakan. Hal ini menjadi perhatian khusus mengingat kerap kali kasus
kesenjangan data terhadap realita terjadi.
Ada
hal menarik yang perlu diselidiki lagi soal negerii ini. Kata Pak Tavip nih,
orang Jogja tuh hidup bahagia (Hdi tinggi) tapi tetap aja miskin. Kalau Pak Mud
menambahkan, orang Jogja itu nggak nyadar kalo miskin. Selama masih hidup
tenang dan damai, bisa berkumpul bersama. Inilah kemiskinan kultural itu, kata
Pak Mud.
Menanggapi
insentif penanggulangan kemiskinan tak lepas dari kebijakan impor-ekpsor dan
berbagai paket program unggulan. Prof. Mudrahad menggarisbawahi UU perimbangan
Keuangan yang perlu ditinjau ulang, yaitu UU 33/2004 dan UU 32/2004. Selain
itu, tingginya proporsi investasi yang didominasi asing perlu ditangani yakni
dengan Raperda Insentif Penanaman Modal.
Menanggapi
arah kebijakan dan penanganan permasalahan industri dalam negeri khusnya
industri kreatif, Prof. Mud menekankan tiga masalah utama UMKM yaitu (1) Akses
biaya, (2) Financial inclusion, dan (3) Akses bahan baku. Dan yang tak kalah
penting beliau menambahkan, bagaimana mengubah
mindset UKM Usaha Kecil Menengah
menjadi Usaha Kecil Milyaran (hahaha).
Menurut
Pak Tavip masalah budaya, industri yang tercerai berai, di sinilah urgensi
koordinasi. Menyatukan industri kecil tentu tidak mudah. Tetapi hal ini perlu
terutama dalam value dan terbentuknya “trust” dan cooperativeness di antara
elemen masyarakat dan pemerintah. Well, beliau menyebutkan daya saing tidak
seharusnya dinilai dari competitiveness. Jadi,
parameter dari daya saing apa dong? Bingung... Setahu saya, sampai detik ini
adanya mah GCI Global Competitiveness Index yang mencakup banyak hal. Dan level
GCI Indonesia di tingkat global menurun salah satunya karrena permasalahan
birokrasi dan korupsi. Sebenarnya karena belum spenuhnya paham maksud Pak Tavip
dengan pernyataannya, dan forum yang tidak memungkinkan untuk mengejar makna
yang beliau sampaikan, setidkanya ada hal yang jelas menjadi tugas bersama.
Membangun daya saing itu dimulai dari hal kecil. Menghargai, mencintai, dan
melestarikan keunggulan setiap daerah. Baguslah, ada wacana memasukkan
pelajaran batik di sekolah. Ya semoga tak berhenti di sana. Akan tetapi
bagaimana authority, hak atas intellectual property, manajmemen dan pemasaran
dari produk lokal yang profesional sangat esensial dalam menghadapi persaingan
global menghadi ASEAN Economic Community. Jaya Indonesia!
OOT:
OOT:
Masjid BI cukup bersih, namanya Masjid Nur Wahid. Sesaat setelah meluncur dari Bantul ke tempat ini perjalanan yang jauh itu tak terasa melelahkan setelah berhasil menemukan ketenangan di tempat ini. Oya, ada perpusnya juga tapi nggak berani masuk hehe kan orang luar maksudnya.
Ohya, ada hal
yang berkesan di forum ini. Saya ketemu
sosok yang familiar. Hampir empat tahun lalu dia berdiri sebagai lawan dalam Jogja
Debating Cup. Beliau ini ternyata sekarang di HI UGM dan kabarnya sih founder
FFI dan udah terkenal ke mancanegara weseh.
Oh well, saya takkan pernah lupa saat
berhadapan dengannya dalam pengalaman high school debating cup pertama saat
masih duduk di bangku Kelas X SMA. Ada satu kata yang meluncur dari beliau yang
takkan pernah saya lupakan dalam debat itu, “bullshit”. Agak sakit hati sih ketika
tim ini disebut2 cuma omong kosong doang. Tapi lebih kaget lagi karena kata itu
muncul di tenagh sesi debat. Dan ia
muncul sebagai wakil sekolah yang notabene pesantren di Jogja. Whatthefun, Dito,
Kei, dan saya pun anak yang besar di lingkungan biasa2 ini pun “terkesima”
hahaha. No matter what, the ethics of debate stands. Lupa siapa akhirnya yang
menang dalam sesi itu yang jelas Padmanaba berhasil, meski hanya merebut gelar Hi-School
Debating Champion karena Delayota kala
itu bisa sampai level Jogja Cup. Oh well. Whatever happens, it’s not a matter
of arguing. The art of debating is a matter of respecting freedom of thoughts.
Btw, orang itu inget aku nggak ya? Barangkali
tidak. I have changed a lot. I have gone mature (supposed to be) and I have
changed much in manner. Hahaahaaa, nggak perlu juga inget dan nggak penting
juga kalee.The obvious thing is everybody changes. Barangkali bahasa Inggris
dia udah level master sekarang dan semoga lebih mature dan menguasai the ethics
of language itu. Thats the main point! Bukan apa-apa, mau saingan mau kawan,
kita muslim tetep deh bersodara bro. Makanya saya pun perhatian dan tak pernah
lupa satu kata itu yang okelah udah biasa dan rubbish dalam percakapan harian. Hmmm
anyway, I think there once a saying goes (can;t remember the exact woerds) but,
the way a speaker states his mind determines the level of one’s civilization. I
wish you could understand what I mean here.
***
Yogyakarta, 3 Juni 2012
@NurismaNajma
No comments:
Post a Comment