lovely picture

Monday, November 18, 2013

Di Atas Menara

Untuk Jingga,

Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari bangunan delapan lantai ini di mataku. Selain menatap langit dan awan mendung yang memayungi merapi pasca erupsi tadi pagi. Semburat merah matahari senja, mewarna penjuru kota  yang tampak bercahaya dari atas menara.

Menunjang dan menjulang. Barangkali slogan ini tak asing lagi di kawasan Sosio Humaniora. Sejatinya slogan ini sebuah paralelisme yang unik. Menjulang mudah dimaknai secara kasat mata. Sedangkan, menunjang... Menunjang siapa, menunjang apa, dan menunjang dalam hal bagaimana? Menunjang, sebuah visi implisit yang secara kasat mata sulit diterjemahkan dibandingkan makna menjulang itu sendiri. Meski menjulang pun dapat bermakna ganda dalam hal memuncak dalam karya. Menunjang dan menjulang berirama.

Banyak hal terjadi begitu saja. Kadang alam sadar kita tak bisa menangkap setiap kejadian di depan mata. Terima kasih Jingga untuk senja yang menyenangkan. Banyak hal yang mungkin aneh dan membingungkan tentang hidup ini. Pada titik kulminasi di mana kita mencari tempat untuk menepi, mencari tempat untuk bercengkerama dengan-Nya, Dia selalu ada meski tak kasat mata. Dia selalu mengirimkan tempat yang tepat.

Dan bersyukur sekali akan hari ini. Ternyata seseorang yang tepat itu adalah menghabiskan senja dengan instrumen walk in the night, little traveler, memo sety, kopi cantik nan pahit, dan seperangkat standar peraturan akuntan publik di layar monitor yang tak lebih menarik dari adobe effect-nya Jingga. Miraculously creative. I believe.

Sunday, November 17, 2013

Secercah Cahaya


bilamana jiwa-jiwa kita saling menyapa, saling bercahaya.
adakah kau rasa betapa indah kekuatan cahya-Nya?
bilamana jiwa-jiwa kita tegak berdiri, saling mencahayai.




sekecil apapun nyalanya, bukankah kilau-Nya menjadi amat kuat terasa?
seredup apapun jiwa-jiwa ini tampak di mata, teruslah menyala untuk-Nya.
bercahayalah di manapun berada,
karena kita adalah cahaya yang kita cari dalam kegelapan yang terasa.




Friday, November 15, 2013

Perjalanan Nostalgia, Berkeliling-keliling Desa

Saya sangat merindukan masa itu. Berlarian. Bersepedaan. Di antara pematang sawah, di antara lumpur tanah, di antara suara jangkrik, burung gereja, dan nyanyian bocah kampung di antara sorakan takbir, bahkan nyanyian di balik hujan. Masa di mana matahari, awan putih, langit biru, tanah lapang, dan persawahan menjadi kawan yang tak terlupakan. Entah kapan saya bisa kembali pada masa itu lagi. Masa di mana senyum polos dengan binar sepasang bola mata bening yang menatap langit dengan sejuta impian.

Sepekan ini bisa dibilang pekan yang luar biasa. Perjalanan nostalgia, berkeliling-keliling desa. Busy bee, bolak-balik Bantul-Jogja. Tapi asik. Asik banget. Kesempatan ini saya nikmati sekali. Jadi, saya dan Rahma tergabung dalam tim enumerator untuk pengumpulan data penelitian yang sedang dilakukan Pak Akhmad Akbar. Penelitian tsb bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh KKN-PPM terhadap UMKM di DIY. Tim Bantul sendiri terdiri atas empat orang yaitu Anin, Rahma, Agung, dan saya. Saya pikir inilah saatnya saya kembali ke kampung halaman. Mungkin sudah terlalu lama saya pergi berkelana tanpa mampu memberi apa-apa pada tanah kelahiran. Mungkin impian saya kadang terlalu muluk. Ketika seringkali saya hanya menggigit bibir atas keterbatasan dan angan-angan yang kadang terlalu tinggi. Setelah berulang kali menampar diri sendiri menyadari betapa idealisnya saya. Ya, dan ayah telah berulang kali menampar saya dengan betapa idealisnya saya.

Maka ini adalah hal yang bisa saya lakukan. Barangkali tak ada efeknya. Barangkali tak ada apa-apanya. Tapi saya cukup menikmati kampung lagi. Barangkali juga bisa ada inspirasi buat KKN tahun depan. Saya masih bingung mau KKN di mana. Saya merasa untuk benar2 berkarya nyata di kampung sendiri aja belum bisa. Saya sih berharap bisa kembali ke rumah saja mengerjakan program KKN yang benar2 bermanfaat dan bisa mengembangkan kampung halaman. Tapi saat ini fokus masih ngurus hal lainnya, KKN gimana nasibnya. Apalagi banyak yang mengomentari betapa saya suka jalan-jalan ke luar. Hmm jujur saya memang suka. Cita-cita keliling dunia udah dari SMP. Apalagi Charity Concert dari Australian Choir dari Wollongong dan gempa Jogja itu memotivasi saya banget buat mengenal dunia luar. Tapi dari situ juga saya belajar untuk mengkritik. Kenapa harus ke mall? Bahkan di rumah saya jjarang ke mall. Jadi kenapa saya harus bangga main ke luar negeri dan ujungnya hanya ke mall? Dan ini akan ssaya ceritakan di episode lain ketika melihat sisi lain Filipina. Gara-gara nekad melihat sisi lain inilah saya beranikan keluar dari mainstream. Pergi dari rombongan. Melakukan perjalanan hanya berdua dengan kawan saya dari Jepang. Kayanya temen saya ga tega aja sy berkelana sendiri. Yang saya inginkan bukan ke mall untuk sekali ini. Mencari masjid kubah mas ala Filipina dan sempat tersesat ehhe. Tapi tnatangan beginian yg justru saya suka. Look beyond. Melihat realita. Kapan2 ya sharing cerita perjalanan itu.

Saya trenyuh ketika seorang ibu bercerita tentang ketiga anaknya. Beliau usianya sudah 50 tahun. Sebagai ibu rumah tangga, beliau turut membantu suaminya yang bekerja sebagai juru masak catering di Budi Mulia dnegan berjualan angkringan dan beternak kambing. Dengan itu semua, beliau berhasil menyekolahkan anaknya hingga sarjana. Ya, anaknya laki-laki semua tapi alhamdulillah tetap bisa di sekolah. Lupa sekolah apa, di bidang kesehatan karena praktik di klinik dan rumah sakit. Sedangkan, anak bungsunya, waktu itu saya ketemu anak bungsunya hendak berangkat sekolah dnegan sepedanya. Penampilan fisiknya tampak biasa sjaa. Dia cuma minta dikasih sangu 5 ribu. Hmm saya kaget lagi ketika ibu itu bilang kalo anaknya sekolah di SLB. Ibu itu bersyukur banget anaknya meskipun kemampuan berpikirnya lambat tapi secara fisik sempurna. Dan lagi, anak itu juga yang sellau di rumah membantu berjualan.

Yang paling seru dari perjalanan ini adalah melewati pematang sawah... Asik banget sensasinya. Kayanya udah lama banget ga main ke sawah. Padahal jaman dulu...  Coba jalan2 pake sepeda kaya dulu waktu kecil sepedaan sampai Bantul kota, ke goa slarong, ke makam imogiri.. Tapi jauh juga sih kalo sepedaan cari datanya bisa pingsan kali ya...

Kemudian, selepas maghrib di sebuah masjid sederhana di pelosok Palihan Bambanglipuro saya trenyuh lagi. Bu Partini yang berjualan pisang dari tahun 70an lama amat ya.. Sampai sekarang. Beliau berterima kasih banget berkat pinjaman BNI yang bekerjasama dengan LPPM UGM dia bisa mempertahankan jualannya. Pinjaman ini terkenal sebagai kredit lunak yg sangat membantu.

Malam itu cukup melelahkan. Kami bertandang dari rumah ke rumah. Betapa besar harapan mereka pada mahasiswa. Betapa sederhana dan apa adanya. Bahkan ada seorang bapak yang berjualan macam-macam tapi mungkin karena niatnya hanya memutar uang dalam keluarga untung usahanya sama sekali tak senading. Tapi tetap bisa men-sarjana-kan anaknya. Begitulah, saya jadi ingat sama bapak, ibu, dan bagaimana simbah bisa membesarkan bapak ibu. 

Betapa baiknya sambutan mereka. Hampir di setiap rumah kami dianggap sebagai tamu dan dibuatkan minum teh. Nostalgia banget rasanya. Berasa silaturahim ala lebaran. Yang jelas kehangatan mereka benar-benar terasa. Ketika saya sadar kebanyakan mereka tidaklah mengenyam pendidikan tinggi tetapi derajat dan etika mereka begitu beradab. Terkadang, saya merasa malu. Apa yang saya punya, siapa saya. Dan kadang miris juga melihat perilaku mereka yang berposisi tinggi berilmu tinggi tapi justru ketika diwawancara tidak menunjukkan derajat yang tinggi karena kurang menghormati dan sikap yang berkenan lainnya (curhat malah).

Anyway, alhmadulillah selesai sudah merangkum hasil wawancara. Meskipun pekan ini melelahkan tapi sangatlah berkesan. Rahma juga pasti capek banget sampai kemarin nginep di rumah. Dan akhirnya berangkat pagi-pagi hbs subuh dari rumah buat nggarap AKM-nya. haha berdua menembus malam, menembus fajar. Perjalanan nostalgia ini sangat berkesan. Meski harus berpacu dengan waktu dan bermandikan keringat.

P.S.:
Thanks Rahma, for being my partner during this journey. Ternyata feeling saya kuat. Pertama kali ketemu Rahma saat wawancara di pos TES1 di tengah jurit malam. Mata yang mulai sayu masih merasakan bahwa kita pasti akan bersama-sama, meski bukan di departemen yang sama ternyata rencana Allah luar biasa. Perjalanan kemarin luarbiasa banget. Kita harus membuat sejarah perjalanan hebat lagi di masa mendatang ya!

Why is it only me?

why is it only me. where are we?

Tuesday, November 12, 2013

aku ini siapa?

aku ini siapa?
aku ini siapa?
siapa aku?
aku siapa?

ketika mereka membagi bebannya padaku, mengapa aku ragu?
bukankah itulah amanah yang sebenarnya?
ketika orang lain mempercayakan bebannya kepadamu, membaginya denganmu seberat apapun itu.
bersemangatlah hei kamu!

Suppose..

Suppose I am an Accounting-maniac.. I would just go to the library and study taxation.
Suppose I am a genuine Accountant I would take online courses and anything related to Accounting.

Who am I really? I would rather work hard on my econometrics textbook rather than financial accounting. When today's taxation class was canceled, i went to library and got my self working on Behavioral Economics, reading and having fun with the quizzes. Though behavioral economics is an informal class, it is not my formal study.

Who am I really? Wakarimasen TT

Wednesday, November 6, 2013

On My Own

Alhamdulillaah, just one more day for the midterm. Accounting Practice. 1 credit only but so much work! Goodluck you girl, you're wonderful :)

These days aren't easy lately. How time flies and just so many things to catch up with. Sometimes you do feel alone. You do feel you can't go on. Then, Les Miserable's musical comes into mind.

And now I'm all alone again nowhere to turn, no one to go to
without a home without a friend without a face to say hello to

Sometimes I walk alone at night
When everybody else is sleeping

The city goes to bed
And I can live inside my head
*On My Own-Eponine

I know that theres really no time we are all alone. I know that in every pain, there is strength inside. Dear God, keep my faith and be strong.

Tuesday, November 5, 2013

Twinkle Little Traveler





Namaku Liliana. Orang-orang lebih  suka memanggilku Lian. Lian terdengar lebih singkat dan mudah diingat. Namun, secara estetika Liliana adalah nama yang indah. Nama yang begitu pas dengan wajah dan penampilanku yang amat Asia. Seorang gadis yang sejak lahir sangat mudah dikenali karena karakteristiknya yang sangat berbeda di antara jutaan bayi berkulit putih lainnya yang tinggal di benua berpenduduk mayoritas kaum pendatang berkulit putih ini. 

Sebaiknya aku sedikit bercerita tentang asal-usulku. Meski sejujurnya, aku tak begitu suka membuka sejarah hidupku kepada sembarang orang. Akan sangat panjang dan berbelit. Intinya adalah aku memang wanita Asia yang menemukan rumah di benua lain. Rumah Keluarga Edward yang mengadopsiku langsung dari tanah kelahiranku di Nanjing, Cina.

Aku sudah terlalu lama dan terlalu sering berpindah dari rumah keluarga angkatku di pelosok Washington, sebuah kota kecil bernama Walla Walla. Mungkin seperti halnya orang Jogja yang seringkali menganggap mereka  yang berasal dari daerah Bantul dan Gunungkidul adalah pinggiran. Tentu jika mereka tidak ingin menyebutnya kampungan, katrok, maupun ndheso. Ya, begitulah Walla Walla, kota kecil tempat air mengalir dengan keasrian dan ketenangannya seperti halnya Bantul yang projo taman sari dan Gunungkidul yang tut wuri handayani

Aku meninggalkan rumah bersejarah itu tentu bukan karena aku tak terima dianggap pinggiran dan kampungan sebagai seorang Walla Walla. Hanya satu dorongan kuat yang menghujam di hatiku. Aku ingin terbang ke angkasa, membuka mataku pada kesemestaan alam semesta. Karena aku  ingin mengepakkan sayapku.  Merasakan kehangatan alam raya, menghirup udara di benua lainnya, menatap langit dari berbagai belahan dunia, meresapi gemerisik dedaunan, menantang terik sang surya yang bertahta, dan merengkuh titik-titik air yang sesekali tercurah dengan berpijak pada tanah seberang yang bernaungkan langit luas tanpa batas. 

Bukankah alam adalah pelajaran indah yang seringkali terabaikan ketika kita terlena dengan keadaan? Bukankah itu yang disebut para muslim sebagai bagian dari hijrah yang indah, mengenal semesta dan pemilik-Nya? Bukankah itu juga yang dianggap para penganut ajaran suci lainnya sebagai pilgrimage, sebuah perjalanan suci? Perjalanan yang pada intinya membuka mata hati kepada semesta dengan esensi spiritualitas luar biasa ketika kita pun mulai sadar akan keajaiban-keajaiban dalam setiap perjalanan yang kita lakukan. Yang tak terlupakan, setiap kali tengah dalam perjalanan, meski hanya makan di ­­­­­restoran, berjalan di antara taman-taman kota, masuk kampus biru, bahkan mengunjungi tempat-tempat baru selalu saja orang ternganga melihat mata sipitku dan kulit Asiaku yang tak sepadan dengan identitas diriku yang menurut mereka “begitu barat”. Begitulah mereka yang baru mengenalku dan melihat pasporku Amerika, mereka akan berkomentar dengan keheranan yang sama. Betapa darah Asia ini tak mampu kusembunyikan dalam tulang tubuhku yang telah secara legal dicap sebagai US citizen.

Tahun ini misi perjalananku adalah Indonesia. Bukan perjalanan ala kolonial dengan 3G-nya, God, Glory, Gospel. Perjalanan ini dituntun oleh personal passion into the pursuit of life bliss. Murni panggilan jiwaku. Sebuah tekad kuat untuk mencari kebahagiaan. Mencari sebuah tempat yang bisa kusebut rumah. Ketika aku merasa aku ingin melihat banyak hal dengan lebih dekat. Perjalanan yang secara teknis memang hadiah atas kelulusanku dan keberhasilanku diterima sebagai freshman (mahasiswa baru) di sebuah universitas ternama. Maka, seperti remaja Amerika umumnya, aku pun mendapat kado traveling spesial dari papa dan mama. Indonesia menjadi pilihan pertamaku. Ya, Indonesia, bukan Eropa atau lainnya. 

(to be continued)