lovely picture

Monday, August 27, 2012

Cerita tentang Kita

Cerita tentang Kita




Ini adalah kisah tentang suatu masa
saat jiwa-jiwa kita saling menyapa
entah kapan suatu masa itu ada
tak kuingat kali pertama kita berjumpa
hanya terselip nama demi nama
di antara baris-baris doa

Kisah ini tentang jiwa-jiwa yang menyala
saat kita mengukir mimpi di atas langit asa
saat kita berbagi bahu bersama
lalu tersenyum dalam peluh air mata

Kisah ini tentang kita
beribu senyum dalam berbagai rupa
di bawah temaram sinar rembulan
jiwa kita bercahaya
terbata-bata mengeja semesta

Kisah ini adalah kita
jiwa-jiwa yang saling mencahayai
menjejakkan makna di antara jarak dan raga
saat memori pun kehilangan nama demi nama
semoga jiwa menggenggamnya
dalam sebaris doa
***

                       styrofoam bekas di dinding kamar bisa disulap jadi hiasan ilustrasi yang cantik :)
                                   one big family: Bapak-mb iti-isna-ibuk dan Liliana-Mom-Isna


                                                BilCom, Bilingual SMP1Bantul 2007


                                                BangZorro (X2) Padmanaba'65

                                                   
                                               tiwi-anggit-isna-devi-qori-mega

                                                  Jogja Nasyid Award @SO 1 Maret

ong-novi-devi-anggit-qori-tiwi-isna-ivit-

                                           the kwek-the kwik-the kwok

Kepada Taufik Ismail, Menunggu Itu...

Menunggu Itu
(buah pena Taufik Ismail)

Menunggu itu sepi
Menunggu itu puisi
Menunggu itu nyeri
Menunggu itu begini:
Sebuah setasiun kereta api
Di negeri sunyi
Malam yang berdiri di sini
Ada wajahmu dan wajahku
Benarkah jadi begini?
Rambutnya hitam sepi itu
Rambutnya putih sepi itu
Sunyi adalah sebuah bangku kamar tunggu
Dan jam tua, berdetik di atas itu
Sunyi itu tak pernah tidur
Sunyi itu tamu yang bisu
Menawarkan rokok padamu
Sunyi itu mengembara ke mana
Sunyi itu kota gemuruh
Sunyi itu padang penembakan
Sunyi itu tulang-belulang
Sebuah dunia yang ngeri
Menyuruh orang menanti
Ada karcis, ada kompor yang tua
Perjalanan seperti tak habisnya
Menunggu itu sepi
Menunggu itu nyeri
Menunggu itu teka-teki
Menunggu itu ini 
***
Menunggu KRS seperti menunggu SMS yang dinanti-nanti entah kapan bisa masuk kotak pesan. Menunggu KRS seperti menunggu di RS saat liburan namun ada kerabat yang justru menginap di tempat yang sama sekali tidak lebih baik dari rumah sendiri meski se-VIP apapun kondisinya. Menunggu itu.... semu. Tak pernah tau kapan benar2 datang. Menunggu KRS itu.. Kadang bikin gemes, mual, sakit kepala, sakit perut, demi mempertaruhkan jadwal kuliah :D

Menunggu kapan mendapat kesempatan bertemu beliau lagi.. Saat itu, Juli 2009, di kawasan Wisma Handayani, seorang bocah yang begitu cintanya pada puisi2 Taufik Ismail benar2 seperti bermimpi  menemui sosok pujangga yang diimpikannya sejak masih kanak2, yang detik itu  juga berdiri di hadapannya membacakan puisi (untuknya). Sebuah pertemuan tak terduga sama sekali. Stasiun Tugu, Kembalikan Indonesia Padaku, dan Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini,. Smua semuanya.. Setiap getar bibirnya membaca baris-baris kata sang pujangga adalah hati yang bergetar oleh jiwa yang berada di dalam genggaman-Nya. Dan saat itulah, ia meresapi puisi perpisahan yang ditulis sang pujangga untuk semua anak di ruangan itu. Dan tangannya bergetar meraih sebuah buku warna biru, sebuah catatan yang menyimpan setiap goresan apa saja. Di sana pula tersimpan baris-baris kata sang penyair. Begitu sang penyair menutup sambutannya, ia hanya bisa menahan rasa yang menyeruak di hatinya, tiba-tiba, dalam binar di wajahnya, dan gemetar di dadanya. Namun, ia tak bisa menemuinya hanya karena, hanya karena, ini belumlah saatnya meninggalkan ruangan.

Begitu seorang panitia bertitel sie acara membubarkan barisan, si anak berlari-lari mengejar bapak itu, bapak yang hanya kerap ia sebut  selepas membacakan baris-baris judul puisi pada 17an, Hardiknas, dan ketika ia hnaya ingin mengenang jiwa-jiwa yang menggetarkan dada dalam baris kata-kata. Di sana, di dekat mushola, terbata sembari tersipu malu, ia mengatakan betapa ia kagum betapa ia meresapi puisi sang penyair yang tengah bergegas begitu terburu-bur.u tampaknya Bapak itu hanya tersenyum simpul. Hanya itu. Sederhana.Dan si anak hanya mematung memegangi buku sampul batik warna biru yang di dekapannya erat, sebab Bapak itu hanya mengernyitkan dahi dan tersenyum sederhana padanya.

Hmm.. Yaah nikmati sajalah.. Menunggu itu... Kata Iman Rosadi dalam The Ethos of Sakura menunggu itu emas jika kita bisa memanfaatkannya, mengalahkannya, dan menggunakannya dengan hal-hal yang berarti :D

Wednesday, August 22, 2012

Rindu Membatik Bahasa dalam Sajakku

(buah pena: Syarif Hidayatullah)

Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu.
Lagu yang kau bisikkan dulu mengalir begitu deras di nadiku.
Sungai-sungai di tubuhku mencari muara, dan muara itu selalu ada di wajah telagamu. Temaram bohlam, membuat kita semakin erat berpelukan, kau selalu tahu, aku takut pada kegelapan.
Maka tiap kali kuberjalan dan tersesat di rimba kota, kau kembali menimangku sebagai air mata yang baru lahir dari percakapan waktu.

Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. Aku senang menjadi malaikat kecilmu, ketika kehidupan sulit untuk diterjemahkan dengan kejujuran.
Kita menjadi bahasa penenang bila bapak pulang. Mulutnya akan mengeluarkan iblis-iblis yang dilihatnya. Kita hanya bisa menggigil kemudian mengeja alif di sisa malam. Aku ingat, doamu begitu tulus kau panjat, kita selalu hujan untuk bercakap dengan Tuhan.

Rindu membatik bahasa dalam sajakku, ibu. Kau layarkan aku begitu jauh darimu. Jauh dari halaman rumah yang kau sapu dengan air matamu, jauh dari bayam yang kau tumis di perutku. Namun aku tahu, kau hanya ingin menjadikanku bulan, agar kelak kubisa berjalan dalam kegelapan, rinduku tak habis padamu.

"Rindu Membatik Bahasa dalam Sajakku". Syarif Hidayatullah. Majalah Sastra Horison. Edisi II. 2008. halaman 9.

Saturday, August 18, 2012

Eid Mubarak




Allahu akbar allahu akbar...
Allah.. Allahu Allah..
If you ask me about love
and what I know about it
My answer would be
its everything about Allah..
the pure love to our soul... :) 
(Always Be There)

Alhamdulillaah, alhamdulillaah..
All praises to Allah...
(Alhamdulillah-Thank You Allah)


Sebulan sudah Ramadhan membersamai kita. Semoga bisa istiqomah sampai Ramadhan berikutnya dan berikutnya lagii aamiin.. Semoga bisa bertemu kembali dg Ramadhan :)

Kepada Saudara-saudara sekalian saya mengucapkan:
Taqabbalallahu minna wa minkum. Shiyamana wa shiya makum. Ja’alanallahu minal a’idin wal faidzin. 

Semoga Allah menerima shaum kami dan Saudara sekalian. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yg kembali & orang yg menang.

Aamiin.

Mohon maaf jika selama ini saya punya banyak salah. Semoga persaudaraan kita karena Allah dan semoga kita dipertemukan kembali oleh Allah di surga kelak. Aamiin.

xox isna xox

 ***

 



Monday, August 13, 2012

One Big Family :)

"One Big Family"
By Rukhasana Khan

Everyone walking on the face of the earth
Came from one woman and man
So why should we fight, we should be making peace
And doing all the good that we can.
One big family,
One big family,
Let’s live together in harmony,
We’re one big family.
Whether we’re from the north or south
From the east or west or in between
We all know what love is about
And it hurts when people are mean.
One big family,
One big family,
Let’s live together in harmony,
We’re one big family.

Reference:
Khan, Rukhsana. Muslim Child: A Collection of Short Stories and Poems. 1999. Toronto: Napolean Publishng.

***



"One Big Family"
 By Maher Zain


I wonder why you and me fight each other
Don't you see the similarities between us?
Take a minute and see yourself in the mirror
You look like me: those eyes, lips - you can't deny

Have you thought about
Why we look the same?
Why we feel the same?
Don't tell me it's by chance

Oh, you're my brother
You're my sister
We're one big family
Oh, you're my brother
You're my sister
Just one big family

It doesn't matter if you live far away from me
You feel I feel, you bleed I bleed, you cry and I cry
We sleep and dream
Sometimes we're sad, sometimes we're happy
You breathe I breathe
We love, walk, talk and we smile

Have you thought about
Why we look the same?
Why we feel the same?
Don't tell me it's by chance

Oh, you're my brother
You're my sister
We're one big family
Oh, you're my brother
You're my sister
Just one big family

I care about you
And I wish you could realise
There's no difference between us two
We're part of one family
No matter how far you are
And even if we don’t know each other
Oh, you and me, me and you, we are one

Oh, you're my brother
You're my sister
We're one big family
Oh, you're my brother
You're my sister
Just one big family
***



Friday, August 10, 2012

Sebuah Pencarian

Hari ini Padmanaba masih teduh seperti setiap kali aku melewatinya. Dan hari ini aku ditampar habis-habisan oleh mereka, Padmanaba, para ksatria yang luar biasa. Kumulai hari dengan membawa motor bututku ke parkir yang di depannya bergelar gambar Bhayangkara Padmanaba 68. Aku takjub. Jiwa ksatria anak-anak muda Padmanaba. Lalu kususuri jalan samping menuju pintu belakang. Seperti mengumpulkan  kepingan2 mosaik maasa lalu. Kalau kata Mas Arkha seperti saat acara pelantikan Kirpad, napak tilas istilahnya. Tempat yg ckup lapang tempat UMT dengan rerimbunan pepohonan. UMT itu upacara minum teh keluarga KIRPAD. Aku masih ingat saat2 itu, dan masih ingat tebak2an dari mas Toha (KIRPAd'64) kepada kami 65. Lalu, pintu depan, pos satpam seklatan, dan flamboyan, dan pintu belakang. Saat melewati pak satpa, saya menghormat dan tersenyum pada beliau. Ternyata beliau masih ingat nama saya., dan tentunya ingat karena saya anak yang dulu tiap pagi dan sore berjalan kak melewati pos satpam tsb. Sebenarnya biasa aja mungkin ya cuma main ke sma. tapi hari ini spesial banget, karena ga tau kenapa ada perasaan rindu pada sma dan rasa syukur yang menyeruak serta bara yang kembali menyala setiap kali aku ke tempat ini.

Perpus. Perpus SMA3 sudah berkembang pesat sejak aku kelas 3 yang jauh berbeda kala aku masih kelas 1. Saat ini pun perpus amkin nyaman saja. Aku sempat ke atas main ke perpus. Eh, ada koran baru, Student Globe.,. Wah kenapa baru ada sekarang sih... Bagus je... Jaman dulu gak ada...

Forum selanjutnya berkumpul dengan adek CaPad'70. Angkatan 70, subhanalllah, 5 tahun di bawahku. Aku senang sekali bisa berkumpul dan sharing dengan mereka. Yang paling makjlep, seketika semua hening meresapinya, begitupun aku meresapi kata-kataku sendiri, cukupkah gelar Padmanaba?cukupkah semua ini?apa lagi yang kita cari? Tuhan doa yang selalu kupanjatkan pada Mu, kuatkan aku, tegakkan jiwa dan langkah kakiku agar aku bisa berjalan dan menebar nyala jiwa ini.

Selanjutnya, forum SG yang kembali memantik nyala dalam jiwaku. Subhanallah...... Mereka 66 67 68, adek2 yang hebat luarbiasa. Begitu pula alumni 61 beliau menginspirasi sekali. Lantas, apa yang tlah kulakukan 20 tahun ini? Ya Tuhannn................. Semoga jiwa ini tetap menyala, tetap berjuang, dan memberikan cahayanya..

Saturday, August 4, 2012

7 Tips Memasarkan Buku Self Publishing

oleh Puang Anto

Bagaimanapun, segala produk ‘berbentuk’ yang dipasarkan secara online, tetap memerlukan model distribusi konvensional untuk sampai ketangan pembeli. Tidak terkecuali buku yang diproduksi secara online. Kemewahan mengunggah naskah, print on demand, promosi dan transaksi berbasis online, sebagaimana ditawarkan oleh situs nulisbuku.com (dan lulu.com ditingkat global), cenderung lebih banyak dinikmati pihak produsen (penulis). Tagline ‘publish your’e dream’ dari nulisbuku.com semakin menegaskan hal itu, bukan ? Adanya kesenjangan antara waktu transaksi dengan saat buku tiba ditangan pembeli malah menghilangkan kemewahan pembeli untuk menerima buku real time, sebagaimana yang diperolehnya saat membeli di toko buku tradisional.

Masyarakat kita belum terpapar budaya belanja online. Faktor psikologis berupa ketidaksabaran, waktu dan biaya ekstra ongkos kirim, mestilah 3 penyebab utamanya. Bagi penulis yang sekedar inigin ‘menerbitkan mimpinya’ belaka, laku tidaknya buku adalah nomor 2. Namun alangkah senangnya bila buku kita bisa menjangkau pembaca –baca; pembeli- lebih dari yang kita bayangkan. Gagasan kita bisa menginspirasi lebih banyak orang, dan efek ekonomi (royalty) tentu menjadi bagian tidak terpisahkan. Menulis mungkin cuma hobby, namun tidak ada yang lebih membahagiakan didunia ini selain menekuni hobby, dan kita dibayar untuk melakukannya

Maka, tidak ada salahnya untuk menjadi pemasar yang sama handalnya dengan kemampuan kita menulis. Writepreneurs, ok !

Saya pernah mewawancarai 2 penulis yang menerbitkan bukunya di jalur self publishing. Yang pertama Vira Cla, penulis buku antologi cerpen ‘ Lajang Jalang’. Penulis ini memakai model self publishing Print on Demand (PoD) berbasis online di situs nulisbuku.com. penulis kedua adalah Dee Dee Sabrina, menerbitkan buku antologi fiksi ‘ ISI’ memakai jalur self publishing model konvensional. Dari wawancara mereka berdua, saya menarik kesimpulan bahwa, self publishing model offline & online tidak punya perbedaan mendasar, jika sudah sampai pada tahap pemasaran (promosi & distribusi). Dari obrolan secara terpisah dengan kedua penulis, saya mencoba menggabungkan beberapa tips-tips pemasaran buku yang mereka tempuh (sekaligus menimpanya dengan opini saya sendiri sebagai pembaca/konsumen). Semoga tips ini bisa bekerja membantu anda, kawan-kawan se-forum. Berikut tipsnya :


1. Hindari bertumpu pada promosi online

Semua penulis buku melakukannya. Kompetisi terjadi tidak hanya sesama penulis self publishing. Penerbit mainstream rata-rata memiliki situs yang memajang setiap produknya. Mereka gencar memberi insentif bagi blog-blog yang meresensi setiap terbitan terbaru mereka. Penulis indie cenderung menaruh harapan sepenuhnya pada promosi online (gratis ). Anda bisa melihat status facebook dan timeline twitter dibanjiri oleh promosi buku. Buku anda berada diantara kerumunan pasar. Anda tidak punya ‘sesuatu’ yang bisa membuatnya ‘menonjol’. Sebagai salah satu cara, bolehlah. Tetapi sebagai satu-satunya cara, jangan !

2. Manfaatkan Komunitas spesifik anda

Umumnya penulis indie dewasa ini berangkat dari blog ( anda blogger ?). Saya yakin anda punya pembaca, yang lebih dari sekali mengunjungi laman maya anda. Coba buka dashboard ---> Comment. Lihat, dibawah nama pemberi komentar ada tersisip alamat email-nya. Inventaris semua. Lalu, buatlah satu file attachments berisi foto sampul buku, sinopsis buku & testimoni pembaca yang mirip sales letter. Kirim sekaligus ke daftar email tersebut. Mereka suka blog anda, mereka akan suka buku anda.

Jangan lupa berikan sentuhan pribadi berupa tandatangan dan seuntai kalimat bagi pembeli jadi. Sentuhan ini akan jadi kenangan yang memudahkan penjualan buku kedua anda kelak (karena tandatangan dan kalimat terima kasih dari penulis Dee Dee Sabrina, saya berjanji akan membeli lagi buku kedua-nya kelak)

3. Testimoni tokoh

Penulis umumnya –hanya- meminta testimoni dari sesamanya penulis. Dan butuh mukjizat bagi penulis pemula untuk memperoleh testimoni dari penulis ternama. Testimoni adalah ‘pengaruh’. Saya sendiri menghindari membeli buku yang halaman belakangnya dipenuhi testimoni. oleh penulis itu-itu lagi, yang royal mentestimoni semua buku dibawah naungan penerbitnya.

Manfaatkan ‘testimoni tidak tertulis’. Dee Dee Sabrina menceritakan pengalamannya memberikan secara cuma-cuma bukunya pada salah seorang dosen sastra. Tak lama setelah membacanya, Dosen bersangkutan ‘mereferensikan’ buku antologi fiksi ‘ISI’ sebagai bacan yang ‘wajib’ kepada para mahasiswanya.

4. Berdayakan Media lokal (Koran & radio)

Media konvensional seperti koran harus diakui lebih punya kredibilitas ketimbang media online. Tingkat kepercayaan publik telah dibangun media tersebut selama bertahun-tahun. Pembaca mempercayai koran langganannya.
Koran biasanya punya halaman budaya pada edisi hari minggu. Anda bisa menemukan kolom resensi buku disebelah cerpen atau puisi. Setiap daerah pasti bangga atas setiap pencapaian prestasi warganya sendiri. Koran lokal umumnya punya keberpihakan untuk memuat sinopsis –atau resensi- buku dari penulis yang punya keterkaitan dengan wilayah penyebarannya. Media gemar menampilkan sosok yang bisa menginspirasi lingkungannya. Kirimkanlah satu jilid buku anda kepada redakturnya. Antar sendiri lebih bagus, disertai dengan soft copy berisi sinopsis atau resensi siap unggah ke hard disk redaksi.

Dee Dee Sabrina mengungkapkan bagaimana dia mendatangi rekan-rekannya di komunitas radio di kota stabat Medan, untuk menampilkan profilnya sebagai penulis muda dalam satu sesi siaran. Radio butuh berita, jadi win-win solution, bukan ?

5. Datangi bekas sekolah/kampus anda
Sumbangkan satu jilid buku anda untuk perpustakaan kampus. Lebih bagus lagi jika kampus anda punya media internal (majalah/bulletin/Koran/radio). Buat satu forum dimana anda bisa berbagi pengalaman dan inspirasi kepada yunior-yunior anda. Bawa beberapa contoh buku untuk direct selling. Pembaca buku suka membeli lansung dari tangan penulisnya. Jangan shock bila mereka meminta foto dan tanda tangan, yah.

6. Stok buku
Ini tips dari Vira Cla. Dia sengaja membeli bukunya sendiri dalam jumlah yang cukup signifikan sebagai stock. Ini berhubungan dengan psikologi masyarakat kita, yang lebih nyaman bertransaksi dengan manusia ketimbang situs. Yang perlu diingat dalam penjualan online adalah kejelasan profil penulis yang sekaligus merangkap sebagai pemasar. Buat calan pembeli merasa ‘aman’ berhubungan dengan anda, baik melalui blog pribadi maupun akun anda di jejaring sosial. Lengkapi data-data dan foto pribadi anda di akun tersebut. Penulis dengan nama alias/samaran tidak punya tempat di era web 2.0.

7. Kirim buku anda ke editor/kritikus nasional
Ini tidak berdampak lansung bagi penjualan, tapi umpan baliknya bisa diluar dugaan. Manfaatkan fitur pencarian teman di Facebook anda. Cari nama-nama besar semacam Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka. Cobalah untuk berteman dengan mereka. Mereka adalah orang yang ramah. Jika interaksinya sudah dirasa cukup, kirimkanlah satu jilid buku anda kepada mereka. Minta mereka memberi masukan, semata-mata demi perbaikan bagi cetakan buku anda selanjutnya. Mungkin mereka tidak akan meresensinya di Kompas. Paling tidak dia memberikan apresiasi, penyemangat bagi anda. Syukur-syukur dia menuliskannya di status FB atau tweet di timeline mereka. Bila itu terjadi, siap-siaplah untuk bolak-balik ke kantor pos.

Ketujuh tips diatas ibarat aliran sungai-sungai kecil yang akan bermuara pada samudera penjualan yang lebih besar. Harus disadari kalau –khususnya penulis pemula- ‘faktor nama’ di pasar buku masih jadi rujukan pertama bagi konsumen. Ketujuh cara diatas ibarat lahan, anda menyemai benih (nama) yang kelak tumbuh menjadi pohon popularitas. Saya pribadi yakin anda bisa melakukannya, buktinya, anda telah berhasil menerbitkan buku, yang bagi sebagian orang masih merupakan mimpi belaka.

sumber: http://forum.kompas.com/favorit-writers/35406-7-tips-memasarkan-buku-self-publishing.html

Vira Cla; Self Publishing Model Print on Demand itu Passive Income

” Self Publishing model print on demand (PoD) bisa dijadikan sebagai passive income. Kita seperti punya investasi, tiap ada yang beli, kita pun jadi tambah pemasukan. Waktunya tidak terbatas. Sampai kapan pun kita mau, kita tetap bisa mencetak dan menjualnya. Tidak ada alasan “sudah tidak cetak lagi” seperti di penerbit mainstream “
Saya mengenal Vira Cla, penulis buku antologi cerpen ‘Lajang Jalang’, pertama kali melalui tulisan-tulisannya di blog social media Kompasiana.
Latar belakang denstistry di Univeristy of Indonesia (2005) tidak membuat wanita kelahiran Padang, 26 Oktober ini kekurangan gagasan -dan waktu-, untuk memproduksi karya-karya fiksi, dengan mutu relatif terjaga.
Tapi, saat seorang kawan meneruskan ‘undangan’ dari nulisbuku.com (online publishing), yang menantang para penulis untuk mengikuti hajatan ‘99 Writers in 9 Days, saya tidak menyangka 1 dari 99 penulis yang berhasil menjawab tantangan tersebut adalah Vira Cla.
Siapa kira, menulis fiksi bukan sekedar hobby baginya.
Profesi Dentist tidak lantas menyurutkan niatnya –juga- untuk menjadi penulis professional (anda tahu, Jhon Grisham adalah seorang lawyer).
Sebagaimana lazimnya orang Padang yang ramah, terbuka, lagi jenaka, Vira Cla mau mengiyakan permintaan wawancara tertulis dari saya.
Dia membuka segala seluk beluk mengenai self publishing berbasis online dalam format print on demand (PoD).
Sebagai pelaku –pionir-, pengalaman Vira Cla sangat berguna bagi anda yang ingin mengetahui cara menerbitkan buku secara indpenden. Berikut petikannya :
T : Apa yang melatarbelakangi anda termotivasi menerbitkan buku di jalur self Publishing model PoD ?
J : Kesempatan. Sebuah layanan jasa self-publishing yang saya kenal lewat twiter yaitu @nulisbuku mengadakan acara “99 Writers in 9 Days”.
Acara ini menantang penulis pemula maupun profesional untuk menyiapkan naskah siap cetak termasuk desain cover dalam tenggat waktu 9 hari.
Kebetulan saya punya beberapa cerpen yang secara garis besar setema, ya sudah, saya kumpulkanlah menjadi naskah buku. Jadi, ya, buku tersebut memang sebagai jawaban atas tantangan itu, selain karena saya sebenarnya juga pernah niat mau membukukan kumpulan cerpen saya.
T : Ada kesan bahwa produk Self Publishing model PoD tidak ketat dalam soal mutu, sebagai imbalan atas terbebasnya pihak penerbit dari biaya promosi dan distribusi. Menurut anda ?
J : Penyeleksian mutu tidak ketat ya mungkin, tapi tetap ada, kok. Saat itu saya punya beberapa cerpen, tetap saja saya harus memilah mana yang kira-kira layak “dijual”.
Intinya jaminan mutu memang dari penulis saja. Sehingga siapa pun bisa menerbitkan buku.
T : Muncul persepsi dalam masyarakat bahwa mutu produk penerbit mainstream relatif lebih terjaga ?
J : Kalau dibilang mutu produk penerbit mainstream lebih terjaga, bisa jadi karena ekspansi pasarnya luas. Masyarakat lebih banyak disuguhkan produk-produk mainstream dengan penulis-penulis yang sudah punya nama.
Kesannya ya itulah yang bermutu. Padahal produk self-publishing nggak kalah, lho, mutunya.
T : Tidakkah anda merasa bahwa nulisbuku.com telah memindahkan beban biaya promosi dan distribusi ke tangan penulis bersangkutan. Lalu apa keuntungan terbesar yang bisa diperoleh penulis ?
J : Namanya juga self-publishing. Nulisbuku.com hanya jasa layanan bagi penulis yang tidak punya modal untuk menerbitkan bukunya ( self publishing company ), karena itu ia pakai sistem Print on Demand walaupun ongkos produksi tentu lebih mahal daripada cetak banyak di tempat percetakan.
Selain itu, semua hal yang terkait penerbitan buku jadi kerjaan kita sendiri. Mengambil langkah self-publishing berarti kita sudah siap untuk jadi writerpreneur sejati. Kita menulis, kita pun menjual.
Biaya promosi dan distribusi akan kita tanggung sendiri, atau kalau “pinter” bisa ditanggung pembeli buku kita. Hehehe..
Keuntungan terbesarnya ya kita bisa menerbitkan buku apa saja tanpa harus menunggu berlama-lama naskah kita “diendapkan”  di meja redaksi penerbit mainstream.
T : Betulkah niat penulis menempuh jalur self publishing model PoD semata-mata demi kepuasan pribadi, dengan menafikan motif ekonomi (royalty)
J : Bagi saya, ya ini kepuasan pribadi. Saya telah diberi kesempatan untuk berkarya dan untuk menyajikan karya tersebut kepada siapa pun.
Sebagai seorang yang ingin jadi penulis profesional, inilah langkah awal saya untuk menuju dunia kepenulisan serius. Dan, kesempatan itu datang lewat Nulisbuku.com.
Kalau saya melewatkan kesempatan itu, mungkin saat ini saya belum menerbitkan buku apa pun. Hahaha..
T : Ada kecenderungan self publishing model PoD hanya dijadikan batu loncatan oleh penulis untuk membangun personal brand. Tujuan utamanya adalah –tetap- menembus penerbit mainstream.
J : Ya. Saya tidak membantah pernyataan ini. Saya tetap ingin menembus penerbit mainstream. Selain ekspansi pasarnya lebih luas, buku kita juga dicetak dalam skala besar, masyarakat juga masih percaya dengan kualitas yang terjamin dari penerbit mainstream.
Produk self-publishing, apalagi dengan sistem Print on Demand, masyarakat tampaknya masih setengah hati menerima.
T : Betulkan penulis yang memilih online publisher –lebih- karena ketidakmampuan ‘mengakses’ penerbit mainstream ?
J : Masalah kesempatan saja kali, ya. Ada penulis yang ketemu peluangnya di online publisher, nggak sabar pengen nerbitin buku, ya jadilah nerbitin buku lewat online publisher, seperti saya ini.
Ada juga penulis yang memang niat dari awal harus di penerbit mainstream. Selain itu, masalah prioritas pilihan juga. Kalau sudah usaha menembus penerbit mainstream tapi nggak lolos juga, tapi tetap mau terbitin buku, ya lewat online publisher atau self-publishing.
Sebenarnya, buku apa saja, menurut saya pantas untuk diedarkan. Masalahnya, penerbit mainstream sudah punya batasan tersendiri berapa banyak buku yang bisa diterbitkan, padahal jumlah naskah yang masuk melebihi kuota dari penerbit. Ya sudah, jadilah banyak naskah yang ditolak.
Belum lagi, penulis Indonesia harus bersaing dengan penulis impor untuk mendapatkan kuota dari penerbit. Apalagi naskah dari penulis yang tak punya nama, semakin sulitlah untuk membuka akses ke penerbit mainstream walaupun peluang itu selalu ada.
T : Dalam salah satu artikel di blog Kompasiana, anda masih berharap bisa menembus penerbit mainstream, kenapa ? Apa karena online publisher kurang prestisius, atau karena persoalan ongkos produksi (beban promosi dan distribusi) vs royalty ?
J : Kurang prestisius? Nggak juga. Saya tetap bangga, kok, bisa nerbitin buku dengan sampul depan ada nama saya.
Saya tetap berharap bisa menembus penerbit mainstream karena saya ingin buku saya tak hanya dibaca oleh segelintir orang. Saya ingin buku saya dicetak banyak, lalu disebarkan ke seluruh pelosok Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.
Saya juga ingin punya peluang untuk mengenalkan nama saya sebagai penulis. Saya ingin terkenal karena karya saya seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Clara Ng, Dee Lestari, dan menjadi inspirasi buat orang-orang untuk berkarya.
Intinya, sih, saya ingin karya saya dibaca banyak orang. Hehehe… Kalau masalah ongkos produksi vs royalti, lewat self-publishing bisa lebih untung, lho, asal pinter ngitung. Lagian, saya capek ke kantor pos mulu. Hahaha…
T : Apa kendala terberat menerbitkan buku dijalur online publisher (nulisbuku.com)?
J : Promosi dan distribusi. Buku saya memang terpajang di online store nulisbuku.com, tapi untuk mempromosikan harus dari saya yang proaktif.
Sejauh ini, saya hanya mempromosikan lewat social media yang saya punya. Lewat twitter dengan follower hanya 200-an. Lewat facebook dengan jumlah teman 800-an, lewat kompasiana dengan orang-orang yang membacanya sambil lalu.
Jadi, bayangkan saja, hanya kepada kesekian orang itulah saya gencar jualin buku. Dan, bagi saya ini tantangan berat, bagaimana lagi caranya untuk menyebarkan info buku saya ke jejaring-jejaring maya lainnya. Karena, lewat social media atau apa pun selagi di dunia maya ini, berita itu lebih cepat tersebar dan jangkauannya bisa jadi sangat luas.
Ini yang saya harapkan bisa kesampaian untuk buku yang terbit di nulisbuku.com. Kemudian untuk distribusi, haduh, capek deh kirim lewat pos. Ketemunya Pak Pos lagi, Pak Pos lagi.. Pak Pos sampai bosan sama saya kirim paket melulu. Hahaha…
Kendala lainnya, masyarakat kita tuh masih malas beli lewat online. Kalau saya perhatikan, cukup banyak yang tertarik beli buku “Lajang Jalang”, mereka bertanya-tanya apakah dijual di toko-toko buku, kalau sudah dapat jawaban ‘tidak’, yah, saya pun harus siap-siap kemungkinan kehilangan calon pembeli.
Maaf, saya curcol. Hehehe..
Bagi anda yang berminat membaca antologi cerpen’ Lajang Jalang’ karya Vira Cla, bisa memesannya secara online di nulisbuku.com atau menghubungi penulisnya lansung : Vira Cla.
T :Self Publishing dalam format Print on Demand (PoD) memudahkan setiap orang untuk menerbitkan bukunya sendiri. Tapi menyulitkan disisi lain, karena penulis harus terlibat aktif memasarkan bukunya. Anda punya solusi ?
J : Solusinya hanya satu, ikhlaskan saja. Hahaha.. Percayalah, kerelaan kita memasarkan buku ini akan membuahkan hasil suatu saat nanti. Lakukan saja dengan hati riang.
Penulis yang baik itu adalah pemasar yang baik. Jadilah writerpreneur. Yang bukunya terbit di penerbit mainstream aja tetep ikut memasarkan bukunya, kok. Lihat saja Raditya Dika.
T : Sebagai bisnis, mungkinkah online publisher model PoD kelak bertahan atau bertumbuh secara signifikan ditengah industri penerbitan yang didominasi oleh penerbit konvensional.
J : Pasti bertahan! Dan akan bisa bertumbuh menyaingi penerbit konvensional. Masyarakat diharapkan makin giat membaca. Kebutuhan akan buku makin meningkat.
Banyak juga yang kian rajin menulis, lihat saja gejala blogging, tulisan-tulisan yang selayaknya dibukukan. Tentu dengan kuota terbatas yang dimiliki penerbit konvensional, mau tak mau online publisher sistem PoD akan jadi pilihan.
T : Dapatkah seorang penulis mengharapkan penghasilan yang signifikan jika menempuh jalur Self Publishing model PoD
J : Penghasilan yang signifikan untuk hidup mewah? Tentu tidak! Hahaha… Self-Publishing model PoD hanya bisa dijadikan sebagai passive income.
Kita seperti punya investasi, tiap ada yang beli, kita pun jadi tambah pemasukan. Waktunya tidak terbatas. Sampai kapan pun kita mau, kita tetap bisa mencetak dan menjualnya. Tidak ada alasan “sudah tidak cetak lagi” seperti di penerbit mainstream.
T : Ada indikasi, model PoD hanya strategi bisnis dengan memanfaatkan kecenderungan psikologis penulis untuk membeli bukunya sendiri lalu kemudian menjualnya kembali. Anda sendiri melakukannya, bukan ? (seperti dalam artikel anda di blog Kompasiana). Tanggapan anda ?
J : Ya, saya melakukan itu. Bisnis memang kejam, ya?! Hahaha.. Tapi, saya nggak ambil pusing masalah itu. Mereka melakukan pekerjaan mereka sebagai pebisnis semata.
Saya pun melakukan pekerjaan saya sebagai penulis, juga pebisnis. Saya rasa cukup adil.
T : Kalau boleh tahu, sudah berapa eksemplar buku “ Lajang Jalang “ terjual ?
J : Wah, rahasia perusahaan, nih! Hmm, saya kurang tahu, apakah jumlah ini menyedihkan atau cukup menyenangkan bagi anda.
Tapi setidaknya sudah lewat angka 50 sejak terbit Oktober 2010 lalu.
T : Berapa perbandingan pembelian lansung ke nulisbuku.com (online) dengan yang anda pasarkan sendiri secara lansung.
J : Saya belum dapat info terbaru dari nulisbuku.com. Tapi, sejauh ini, perbandingannya 3 : 51. Yah, ketahuan deh sudah kejual berapa. Hahaha…
Saya sendiri waktu tahu berapa  yang terjual lewat nulisbuku.com cukup kaget. Saya sampai harus hela napas panjang, hmm, it’s a really-really-really self-publishing.
Perlu diketahui, nulisbuku.com sendiri sudah dapat pembagian 40% dari keuntungan buku yang terjual. Jadi, misalkan harga buku 30.000, ongkos produksi 20.000, sisanya 10.000 dibagi 4.000 untuk nulisbuku.com dan 6.000 untuk penulis.
Well, penulis harus membayar 4.000 untuk memajang bukunya di online store nulisbuku.com.
T : Jika tidak sesuai target yang anda harapkan, apakah anda masih berniat menerbitkan buku –lagi- melalui nulisbuku.com, atau anda kembali berusaha menembus penerbit mainstream ?
J : Untuk buku “Lajang Jalang” saya akan bertahan terus di Nulisbuku.com kalau tidak ada penerbit mainstream yang datang sendiri ke saya untuk menerbitkan buku ini. Saya sudah jadikan buku ini sebagai salah satu passive income saya.
Selain itu, ya, saya tetap usaha menembus penerbit mainstream. Nulisbuku.com biarlah jadi pilihan kedua. Hehehe… Karena, dari kultwit @hesti seorang editor di penerbit mainstream, kalau kita sudah kelamaan jadi penulis self-publishing lebih dari 2 buku, penerbit mainstream biasanya sudah malas menerbitkan buku kita.
Kecuali buku self-publishing sudah terjual lebih dari 800 eksemplar, angka kesuksesan seorang self-publisher, itu bisa jadi posisi tawar yang bagus untuk diterbitkan penerbit mainstream.
T : Terakhir, apa pesan khusus anda bagi penulis yang ingin menerbitkan buku di jalur self publishing model PoD ?
J : Bersiaplah jadi pebisnis. You’re not only a writer, but you’re also an entrepreneur. Be a writerpreneur.
Dan, selayaknya bisnis. Anda bisa jadi rugi, atau malah untung besar! Perlu keberanian untuk itu. Self publishing model Print on Demand di Nulisbuku.com ini cocok untuk anda yang ingin “berbisnis” tanpa mengeluarkan modal.
Jadi, nggak ada ruginya, kan?! Hehehe..
* * *

Sumber: http://indonovel.com/self-publishing-print-on-demand-adalah-passive-income/

Sudut Rumah: Sebuah Persinggahan untuk Semesta

"Rumah adalah persinggahan sementara di dunia sebelum akhirnya manusia menuju rahmatullah." (Yudhistira ADN Massardi)

Yudhistira ADN Massardi, beliau adalah seorang sastrawan yang terkenal dengan karyanya yang berjudul Arjuna Mencari Cinta. Saya familiar dengan judul tsb tapi sejujurnya belum pernah membaca buku yang telah difilmkan itu. 

Pada saat saya iseng menekan tombol power on TV di ruang keluarga muncullah sosok Yudhistira dalam Jendela Rumah di salah stasiun TV. Ini pertama kalinya saya menonton acara tsb. Rumah beliau sangat istimewa menurut saya. Selain latar belakang kepenulisannya yang menjadikan corak rumah tsb, harapan dan impian saya akan rumah masa depan hampir sama seperti apa yang sudah Pak Yudhis wujudkan bersama keluarganya.

Sungguh ada bara yang menyala kuat dalam hati saya melihat sepak terjang dan apa yang diungkapkan oleh sosok satu ini. Di usianya yang ke-58, rumah telah menjadi pelayaran dalam bahtera kehidupan keluarga Yudhistira. Rumah yang fungsi utamanya sebagai naungan sebuah keluarga, bukti akan independensi dan eksistensi sebuah keluarga, setelah bertahun-tahun dihidupkannya, kini ia telah menjadi rumah umat. Mengapa saya sebut sebagai rumah umat? Pasalnya, rumah ini telah menjadi rahmat bagi semesta, seperti halnya Rumah Dunia milik Gola Gong. 

Rumah tsb saya tidak yakin seberapa luasnya. Namun di setiap sudut ruangan berderet rak yang dipenuhi buku-buku. Rupanya buku merupakan penghuni khusus rumah kediaman Keluarga Yudhistira. Begitu eksotis. Deretan buku dalam rak-rak yang kokoh itu membuat rumah itu seakan-akan bertembok buku-buku. 

Ruangan kecil yang sangat ringkas dan sederhana menjadi ruang kerja penulis saat Yudhis menuliskan ide dan gagasannya dengan tulisan ataupun mengerjakan pekerjaan editing dan sebagainya. Menurut kisahnya, ruang kerjanya telah berpindah-pindah hingga mennyempit seperti itu seiring perkembangan kebutuhan masing-masing anggota keluarga terutama anak-anaknya yang mulai beranjak dewasa dan membutuhkan lebih banyak ruang untuk mengembangkan diri. 

Sebuah ruang keluarga tampak manis dengan meja yang selayaknya tempat bacaan dengan buku yang tersedia di atasnya untuk mengisi waktu senggang. Untuk mengakomodasi kebutuhan putrinya yang gemar kucing, dibuatlah kandang yang menampung beberapa ekor kucing, sekitar 5-10 ekor kucing yang amat menggemaskan. Dan yang paling istimewa, rumah itu telah memiliki akses untuk publik dengan berdirinya Baitul Ilmi, sekolah untuk anak-anak dhuafa yang dikelolanya bersama sang istri.  

Saat ini Yudhistira tengah sibuk merampungkan tulisan mengenai pendidikan karakter anak seiring usahanya mengembangkan sekolah anak-anak dhuafa yang dirintisnya. Ia mulai bergeser dari menulis dunia imajinatif menjadi dunia tulis menulis yang realistis. Menurutnya, begitulah perjalanan kehidupan yang semestinya mengantarkan kita untuk saling memberi kebermanfaatan bagi semesta alam.


*this is my little pen home, a milestone for a home where everyone can come over, stay, and hopefully get inspired to inspire the world :)

Friday, August 3, 2012

Indahnya Tersesat dalam Cinta



Hari ini sama saja seperti hari-hari sebelumnya. Aktivitas dimulai dengan sahur seadanya, sahur pertama di kamar kos tahun ini. Ya, hari-hari ke belakang segalanya mudah, di rumah bersama Bapak dan Ibu, semua ada. Hanya satu sisanya, kesepian. Kecuali akhir pekan ketika mbak pulang dan bapak-ibu libur di rumah. Tapi, aku sendiri, bagaimana dengan diriku ini? Aku punya kisi2 dunia yang seringkali tersekat dan kulipat rapat dalam bunga tidur di malam dan siang hari. Aku ingin menyala tanpa perlu seorang pun melihatnya. Aku punya mimpi dan dunia yang kubangun dalam imaji dan tekad dalam hati sanubari. Bagaimanapun, aku selalu merindukan rumah di mana aku bisa merasakan kehangatan dan kenyamanan yang tak kudapatkan di tempat lain. Pencarian itu mungkin mempertemukanku pada rumah2 istimewa di mana saja kuberada. Di Kotabaru, Padmanaba, Syuhada, di kampus biru, Walla Walla, dan di rumah Allah aku menemukan naungan dan keteduhan sebagai penawar rinduku pada rumah. Di sanalah, di setiap wajah-wajah berseri yang menyambutku di bumi Allah kutemukan anugerah rumah yang begitu indah :)

Sore ini adalah ketersesatan yang indah. Wkwkwk. Awalnya aku dan sahabatku itu sepakat menghadari forum. Akan tetapi, mempertimbangkan signifikansi, kontribusi, strukturisasi, dan keraguan lainnya, kami akhirnya memilih ke Nurul Ashri, menambatkan hati dan pikiran kami di rumah Allah yang indah itu..Kalau aku beberkan tema apa yang dibahas sepertinya ckp tingkat tinggi, yang jelas aku merasakan ketentraman itu saja sdh luar biasa. Berbakti kepada Allah, Bapak Ibu, dan ...... * Sudah lama aku merindukan saat2 begini saling menguatkan. Sudah lama kita tercerai berai, bergerak dalam barisan yang tak beraturan, melangkah serampangan. Aku sangat merindukanmu ukhti.. Terima kasih untuk senja yang istimewa ini :)

Selepas maghrib, aku berencana pulang. Temanku sdh lebih dahulu krn ia sdg berhalangan. Jadilah aku celingukan sendiri. Ah masa bodoh, ini kan rumah Allah. Justru dengan kesendirian ini aku merasakan kenyamanan bersama Allah, mendengar ayat-ayat muroja'ah serasa seperti ada air hujan ynag menyirami hati perlahan menentramkan, meredamnya menjadi begitu tenang. Ya Allah, dekatkan aku dengan keindahan cinta-Mu, ingatkan aku akan kesemuan duniawi.

Eh pas mau ambil motor, glek, di mana kunciku? Waduh... tadi kayanya ada pengumuman kunci yang hilang.. Waduh... Padahal mesti ngebut ke Bantul buat ngejar trawih jamaah.. Jadilah aku ngendon di masjid itu. Akhirnya isya dan trawih di sana. Ah, berharap setiap salatku selalu mendengar bcaaan2 indah itu.. Meski beberapa kali aku pesimis memikirkan nasibku malam itu. Mau pulang pake apa kalu ga ada kunci? Minta jemput Bapak Ibu dari rumah, tega kah? tengah malam dengan jarakk rumah yang jauh ini? Minta anak kos jemput, sdh begitu banyak aku merepotkan mereka. Bagaimana ini? Apakah sebaiknya aku berdiam di masjid hingga dini hari supaya aku berani jalan sendiri mencari bis atau tukang kunci? Allah bagaimana ini....


Setelah rakaat witir, usai salat, aku berkemas2 dengan perasaan jauh lebih tenang. Ibu di sampingku bertanya apakah aku ada yang menjemput. Aku hanya tersenyum. Allah jemput aku :") Tempat ini sungguh asing tak ada yang kukenal tapi aku nyaman betapa teduh tempat ini... Akhirnya Bapak Takmir yg sdg menata karpet menyambutku dengan kunci motor bergantung tali warna biru milikku. Alhamdulillaaah, ya Allah terima kasih.. Bisa jadi niatku krg mantap di awal (dilema forum) shg Allah mengingatkan niatku tadi.Berbaik sangakaku adalah mengambil hikmah dan manfaat dari hilangnya kunci tadi. Allah menahanku di rumahnNya yang istimewa ini. Allah menahanku sehingga aku pun tersesat dalam indahnya Cinta. Maha Suci Allah.