lovely picture

Tuesday, November 5, 2013

Twinkle Little Traveler





Namaku Liliana. Orang-orang lebih  suka memanggilku Lian. Lian terdengar lebih singkat dan mudah diingat. Namun, secara estetika Liliana adalah nama yang indah. Nama yang begitu pas dengan wajah dan penampilanku yang amat Asia. Seorang gadis yang sejak lahir sangat mudah dikenali karena karakteristiknya yang sangat berbeda di antara jutaan bayi berkulit putih lainnya yang tinggal di benua berpenduduk mayoritas kaum pendatang berkulit putih ini. 

Sebaiknya aku sedikit bercerita tentang asal-usulku. Meski sejujurnya, aku tak begitu suka membuka sejarah hidupku kepada sembarang orang. Akan sangat panjang dan berbelit. Intinya adalah aku memang wanita Asia yang menemukan rumah di benua lain. Rumah Keluarga Edward yang mengadopsiku langsung dari tanah kelahiranku di Nanjing, Cina.

Aku sudah terlalu lama dan terlalu sering berpindah dari rumah keluarga angkatku di pelosok Washington, sebuah kota kecil bernama Walla Walla. Mungkin seperti halnya orang Jogja yang seringkali menganggap mereka  yang berasal dari daerah Bantul dan Gunungkidul adalah pinggiran. Tentu jika mereka tidak ingin menyebutnya kampungan, katrok, maupun ndheso. Ya, begitulah Walla Walla, kota kecil tempat air mengalir dengan keasrian dan ketenangannya seperti halnya Bantul yang projo taman sari dan Gunungkidul yang tut wuri handayani

Aku meninggalkan rumah bersejarah itu tentu bukan karena aku tak terima dianggap pinggiran dan kampungan sebagai seorang Walla Walla. Hanya satu dorongan kuat yang menghujam di hatiku. Aku ingin terbang ke angkasa, membuka mataku pada kesemestaan alam semesta. Karena aku  ingin mengepakkan sayapku.  Merasakan kehangatan alam raya, menghirup udara di benua lainnya, menatap langit dari berbagai belahan dunia, meresapi gemerisik dedaunan, menantang terik sang surya yang bertahta, dan merengkuh titik-titik air yang sesekali tercurah dengan berpijak pada tanah seberang yang bernaungkan langit luas tanpa batas. 

Bukankah alam adalah pelajaran indah yang seringkali terabaikan ketika kita terlena dengan keadaan? Bukankah itu yang disebut para muslim sebagai bagian dari hijrah yang indah, mengenal semesta dan pemilik-Nya? Bukankah itu juga yang dianggap para penganut ajaran suci lainnya sebagai pilgrimage, sebuah perjalanan suci? Perjalanan yang pada intinya membuka mata hati kepada semesta dengan esensi spiritualitas luar biasa ketika kita pun mulai sadar akan keajaiban-keajaiban dalam setiap perjalanan yang kita lakukan. Yang tak terlupakan, setiap kali tengah dalam perjalanan, meski hanya makan di ­­­­­restoran, berjalan di antara taman-taman kota, masuk kampus biru, bahkan mengunjungi tempat-tempat baru selalu saja orang ternganga melihat mata sipitku dan kulit Asiaku yang tak sepadan dengan identitas diriku yang menurut mereka “begitu barat”. Begitulah mereka yang baru mengenalku dan melihat pasporku Amerika, mereka akan berkomentar dengan keheranan yang sama. Betapa darah Asia ini tak mampu kusembunyikan dalam tulang tubuhku yang telah secara legal dicap sebagai US citizen.

Tahun ini misi perjalananku adalah Indonesia. Bukan perjalanan ala kolonial dengan 3G-nya, God, Glory, Gospel. Perjalanan ini dituntun oleh personal passion into the pursuit of life bliss. Murni panggilan jiwaku. Sebuah tekad kuat untuk mencari kebahagiaan. Mencari sebuah tempat yang bisa kusebut rumah. Ketika aku merasa aku ingin melihat banyak hal dengan lebih dekat. Perjalanan yang secara teknis memang hadiah atas kelulusanku dan keberhasilanku diterima sebagai freshman (mahasiswa baru) di sebuah universitas ternama. Maka, seperti remaja Amerika umumnya, aku pun mendapat kado traveling spesial dari papa dan mama. Indonesia menjadi pilihan pertamaku. Ya, Indonesia, bukan Eropa atau lainnya. 

(to be continued)

2 comments: