Namaku
Liliana. Orang-orang lebih suka
memanggilku Lian. Lian terdengar lebih singkat dan mudah diingat. Namun, secara
estetika Liliana adalah nama yang indah. Nama yang begitu pas dengan wajah dan
penampilanku yang amat Asia. Seorang gadis yang sejak lahir sangat mudah dikenali
karena karakteristiknya yang sangat berbeda di antara jutaan bayi berkulit
putih lainnya yang tinggal di benua berpenduduk mayoritas kaum pendatang
berkulit putih ini.
Sebaiknya
aku sedikit bercerita tentang asal-usulku. Meski sejujurnya, aku tak begitu
suka membuka sejarah hidupku kepada sembarang orang. Akan sangat panjang dan
berbelit. Intinya adalah aku memang wanita Asia yang menemukan rumah di benua
lain. Rumah Keluarga Edward yang mengadopsiku langsung dari tanah kelahiranku
di Nanjing, Cina.
Aku
sudah terlalu lama dan terlalu sering berpindah dari rumah keluarga angkatku di
pelosok Washington, sebuah kota kecil bernama Walla Walla. Mungkin seperti
halnya orang Jogja yang seringkali menganggap mereka yang berasal dari daerah Bantul dan
Gunungkidul adalah pinggiran. Tentu jika mereka tidak ingin menyebutnya kampungan, katrok, maupun ndheso. Ya, begitulah Walla Walla, kota
kecil tempat air mengalir dengan keasrian dan ketenangannya seperti halnya
Bantul yang projo taman sari dan
Gunungkidul yang tut wuri handayani.
Aku
meninggalkan rumah bersejarah itu tentu bukan karena aku tak terima dianggap
pinggiran dan kampungan sebagai seorang Walla Walla. Hanya satu dorongan kuat yang
menghujam di hatiku. Aku ingin terbang ke angkasa, membuka mataku pada
kesemestaan alam semesta. Karena aku ingin mengepakkan sayapku. Merasakan kehangatan alam raya, menghirup udara
di benua lainnya, menatap langit dari berbagai belahan dunia, meresapi
gemerisik dedaunan, menantang terik sang surya yang bertahta, dan merengkuh titik-titik
air yang sesekali tercurah dengan berpijak pada tanah seberang yang bernaungkan langit luas
tanpa batas.
Bukankah alam adalah pelajaran indah yang seringkali terabaikan
ketika kita terlena dengan keadaan? Bukankah itu yang disebut para muslim
sebagai bagian dari hijrah yang indah, mengenal semesta dan pemilik-Nya?
Bukankah itu juga yang dianggap para penganut ajaran suci lainnya sebagai pilgrimage, sebuah perjalanan suci?
Perjalanan yang pada intinya membuka mata hati kepada semesta dengan esensi
spiritualitas luar biasa ketika kita pun mulai sadar akan keajaiban-keajaiban
dalam setiap perjalanan yang kita lakukan. Yang tak terlupakan, setiap kali tengah
dalam perjalanan, meski hanya makan di restoran, berjalan di antara
taman-taman kota, masuk kampus biru, bahkan mengunjungi tempat-tempat baru
selalu saja orang ternganga melihat mata sipitku dan kulit Asiaku yang tak sepadan
dengan identitas diriku yang menurut mereka “begitu barat”. Begitulah mereka
yang baru mengenalku dan melihat pasporku Amerika, mereka akan berkomentar dengan
keheranan yang sama. Betapa darah Asia ini tak mampu kusembunyikan dalam tulang tubuhku yang telah secara legal dicap sebagai US citizen.
Tahun
ini misi perjalananku adalah Indonesia. Bukan perjalanan ala kolonial dengan
3G-nya, God, Glory, Gospel. Perjalanan
ini dituntun oleh personal passion into
the pursuit of life bliss. Murni panggilan jiwaku. Sebuah tekad kuat untuk mencari kebahagiaan. Mencari
sebuah tempat yang bisa kusebut rumah. Ketika aku merasa aku ingin melihat
banyak hal dengan lebih dekat. Perjalanan yang secara teknis memang hadiah atas
kelulusanku dan keberhasilanku diterima sebagai freshman (mahasiswa baru) di sebuah universitas ternama. Maka,
seperti remaja Amerika umumnya, aku pun mendapat kado traveling spesial dari papa dan mama. Indonesia menjadi pilihan
pertamaku. Ya, Indonesia, bukan Eropa atau lainnya.
(to be continued)
(to be continued)
lanjut isnaaa :')
ReplyDeletehehe iya Khad, masih mengumpulkan nyawa buat lanjut nulis.. hehe makasih :))
Delete