lovely picture

Saturday, October 4, 2014

Cerita Sebuah Gedung Tua: Pemaknaan terhadap Pengorbanan

Sebuah gedung tua. Berderet motor yang berjejalan di sudut timur dan utara. Beberapa mobil berjejer rapi di sepanjang jalan yang membentuk lengkungan sempurna. Jalan raya mengelilingi setiap senti bangunan tua. Bangunan tua yang dulu hanya ditatapnya dengan skeptis setiap sesekali ia berkunjung ke kota. 

Tak pernah sekalipun tempat itu masuk dalam daftar impiannya. Namun, nyatanya tempat itu menjadi salah satu pijakan yang membawanya sampai pada titik di hadapannya saat ini. Bukan sebatas memori dan kenangan tetapi perjalanan, pencarian, dan pemaknaan. Saat pertama kali dengan langkah ragu-ragu ia dekati bangunan tua yang tampak begitu kesepian. Paradoks antara kebisingan kota dan gedung tua. Bukan pertama kalinya tentunya. Dulu pernah ia berada di sana beradu soal ilmu alam yang sedari kecil disukainya kecuali mata pelajaran ilmu alam yang banyak hafalannya. Namun, saat pertama kali benar-benar menginjakkan kaki menjadi bagian darinya, separuh darinya bertanya. Benarkah ini tempatnya? Tak percaya. Ini sungguh asing. Ia mematung di sebuah aula meja registrasi. Pikirannya melayang-layang membayangkan pegunungan yang asri dan sebuah tempat yang selama ini diimpikannnya. Seorang ibu dengan setia menemaninya. Bahkan ketika ia tak kuasa melangkah dan berlari-lari ke seberang jalan. Apa yang dilakukannya? Untuk kesekian kalinya, ia mencoba meyakinkan dirinya. Di sebuah warung telepon, diteleponnya bapak. Orang yang selalu bijak di matanya. Orang yang kata-katanya selalu membuatnya menunduk untuk merenung. Benarkah ini tempat yang tepat? "Insya Allah, dicoba dulu Dik." Suara bapak di seberang membuatnya yakin. Kedua ibu anak itu pun beriringin menuju bangunan tua itu.

Kali ini kakinya melangkah sedikit lebih mantap. Berdiri dalam antrian dan kerumunan orang yang pastinya sedang memperebutkan nasibnya masing-masing. Pemandangan yang membuatnya semakin gamang. Ia kembali mematung menatap jendela yang telah menua. Seorang ibu masih setia berdiri di sampingnya. Tiba-tiba sebuah suara mendatanginya. Seorang bapak tua berdiri di dekat jendela. Entah siapa dia. Tiba-tiba saja menghampirinya. Entah apa maunya. Dia hanya berbisik, "Hei Nak, apa yang membuatmu ragu? Di tempat ini lahir orang-orang besar. Berjuanglah." Aku takjub. 

Tujuh tahun sejak pertama kalinya si anak menjadi bagian darinya. Sebuah siang yang meneduhkan. Ia berjalan menyusuri sisi timur dan selatan. Taman kota yang dahulu selalu di lewatinya setiap hari. Menyusuri lengkungan sempurna yang mengelilingi setiap senti bangunan tua itu. Di matanya terlihat segerombolan anak berseragam putih biru, seragam yang masih harus dikenakannya, sedang berdesakan di depan pos satpam. Mereka anak-anak baru yang tengah menyelesaikan tugas-tugasnya. Di parkir yang luas itu, teronggok sebuah polygon merah tua sendirian. Mungkin dua sepeda lainnya sudah pergi. Semua potret yang hanyalah lusi. Membuatnya bernostalgia banyak hal di sana. Hingga pada akhirnya di tempat yang mungil dan selalu meneduhkan itu dia selalu merasakan hidupnya berputar kembali, jiwanya menyala kembali. Setiap kali menemukan wajah mereka seperti melihat dirinya beberapa tahun yang lalu dengan keluguan yang sama. 

Hari itu ada yang berbeda ketika ia langkahkan kakinya di tempat yang sama. Kerinduan yang menyeruak begitu saja. Dua bulan kami tak bertegur sapa. Bagaimana kabarmu? Aku bahagia melihat kalian masih sama. Merinding tepatnya. Kalian sudah semakin dewasa. Ketika harus membagi apa-apa yang telah aku lewatkan aku begitu ragu. Batinku, siapa aku? Apa yang bisa kubagi kepadamu? Hei aku bahkan merasa tak punya apa-apa. Pesan itu mengatakan agar aku menyiapkan beberapa foto untuk ditampilkan. Saat itu aku bingung, foto seperti apa yang seharusnya aku tampilkan. Kubuka kembali kenangan-kenangan manis yang tersimpan dalam memori komputer. Kau tahu, setiap kali membukanya, aku selalu ingin memutar waktu. Menghabiskan waktu bersama kalian begitu berharga bagiku. Merenungi perjalanan yang telah dilewati terlalu bermakna bagiku. Aku ingat sebuah video perjalanan bersama kalian semuanya.  Akhirnya gambar bergerak yang terangkum dalam 3 menit itu sudah cukup membagi apa-apa yang selayaknya mereka tapaki selama di tempat ini. Dan perjumpaan itu membuatku semakin tak rela untuk pergi tanpa apa-apa. Sepertinya aku selalu merindukan saat-saat berbagi bersama kalian.

Sebuah Jumat selalu menjadi hari raya yang patut dirayakan. Menemukan cahaya yang menyala. Sebuah bara yang menyalakan sumbu yang mulai layu. Hanya dengan bertemu kalian itu sudah cukup membuatnya kembali bersinar. Terima kasih Sita untuk semuanya, untuk kesempatan yang sangat berharga, untuk membuat kehidupan kembali berputar.

Sebuah kekakuan yang wajar. Ia berpikir keras. Tiba-tiba ia teringat sebuah permainan "Dare to" yang mencairkan kebekuan kelas dalam perjalanan dari Walla Walla-Portland untuk sebuah lomba paduan suara. Permainan itu sangat simpel hanya dengan menghitung jari lalu menunggu giliran untuk menjawab setiap Dare to yang diajukan. Tentunya dare to adalah sesuatu yang telah/belum kita lakukan. Di sanalah terungkap semua kisah, pengalaman, dan perkenalan tentang siapa kita yang mampu menghancurkan benteng-benteng awkwardness yang telah tercipta di antaar kita. Maka aku memilih mmebuat permainan serupa. Tetapi lebih tepatnya dengan tulisan tanpa diungkapkan secara langsung. Lalu menebak setiap isi tulisan siapa  kira-kira orangnya. Bukankah itu cara terbaik untuk mengukur seberapa kita dekat dengan kawan kita dengan seberapa tahu, paham, dan mengerti kita pada pribadinya? 

Pertanyaan darinya, benda apa yang telah sepuluh tahun kau simpan? Beragam jawaban yang muncul. Selimut tweety, piala, ijazah, jawaban lugu dan tak terduga. Kau tahu apa jawabannya? Surat-surat dari sahabat, dari Isna, Khad, dan Ana yang paling mendominasi. Pertanyaan seorang anak yang membuatnya berpikir keras. Merk sepatu apa yang paling kamu suka? Ia terpaku. Nike yang sering didengar tapi melirik saja tak pernah apalagi memilikinya. Merk, ia sama sekali tak pernah melihat merk sepatu. Tepatnya tak ada merk yang pernah benar-benar menarik perhatiannya. Mungkin saking tak pedulinya ia pada aset tak berwujud yang sangat berharga bagi perusahaan itu meskipun itulah hukum yang berlaku di pasar. Ia hanya percaya bahwa invisible hand dalam pasar tak selamanya apa yang diinginkan hati setiap orang. Ia sering membenarkan bahwa ada tangan Tuhan dalam invisible hand. 

Hanya ada sebuah pengalaman yang tak terlupakan soal sepatu lokal yang tak bermerk. Sepatu warna hijau lumut yang telah menyeberang samudera hingga berlubang dan ia tinggal sebagai kenang-kenangan untuk Walla Walla. Ketika ia menunggu bus sekolah, seorang anak yang baru dikenalnya mengajaknya berdiskusi. Mereka berbincang banyak hal. Dia ternyata tertarik sejarah dan ilmu sosial. Dan yang terhebat dia tahu Indonesia. Setidaknya dia pernah membacanya di buku sejarah. Rasanya bangga. Tak banyak yang seperti itu. Lalu perbincangan mengalir kepada cara kami berpakaian. Menarik sekali. Dia berkata, "Seandainya semua wanita memakai pakaian tertutup sepertimu pasti kehidupan begitu tenang." Aku terdiam mencerna kata-katamu. Ya, barangkali. Setidaknya hal itu juga mengurangi penduduk neraka dari kaum hawa yang katanya paling banyak menghuninya. Lalu kau takjub pada sepatu ijo lumutku yang sebenarnya secara fisik biasa saja, sangat tak spesial. Tapi kau begitu excited. "Wah di mana kau dapatkan sepatu ini? This is soooo coool. I havent seen this kind of shoes." Kau bahkan ingin mencobanya. Ku angkat kakiku agar kakimu yang sedikit lebih besar bisa masuk ke dalam lubangnya. Kau takjub. PX Style itu yang tertulis di sana. Sepatu ket yang kau kagumi itu hanya aku beli di Jalan Mataram. Aku hanya tertawa ketika kau begitu iri menatapnya penuh keinginan. Datanglah ke Indonesia kau pasti menemukan banyak sepatu ini dijual di pinggir jalan. Itu kata-kata terakhirku saat bus kuning itu datang.

Lalu, ketika semua fakta telah kita ungkap aku hanya berharap tak ada lagi dinding-dinding yang memberikan jarak di antara kita. Kulirik jam. Tidak, sayang sekali waktuku tak banyak. Aku bahkan belum menyampaikan apa yang sejatinya ingin aku sampaikan. Tentang konsep pengorbanan nabi Ibrahim yang sedang aku coba pahami baik-baik. 

Seorang ayah yang mendambakan kelahiran anak pertamanya tak kunjung pula dikaruniai anak. Suatu malam ketika ia bersujud dan bedoa agar dikarunia anak, istrinya diam-diam mendengar doa itu. Sebagai seorang wanita, ia begitu terpukul. Ia memutuskan untuk merelakan sang ayah untuk menikah kembali untuk mendapatkan keturunan. Begitulah, pengorbanan wanita itu akhirnya terbayar. Sang ayah pun menikah kembali dan dari istrinya itu terlahir anak pertama yang sangat di sayanginya, Ismail kecil. Tepat saat itulah sang istri mulai cemburu. Ismail kecil dan Siti hajar ditinggal di tengah gurun pasir. sang ibu melakukan perjalanan dari Sofa-Marwa mencari sumber air. Ketika pada akhirnya air justru keluar dari kaki Ismail yang tergeletak di atas pasir.  

Ismail putra pertama yang teramat disayanginya harus direlakannya pergi pada usianya yang sangat belia. 13 tahun sang putra mulai tumbuh dan tentu teramat dicintainya. Saat itulah ia justru mendapat pesan Tuhan melalui mimpi untuk merelakannya. "Anakku, aku melihat dalam mimpi bahwa aku mengorbankanmu. Bagaimana menurutmu, Nak?" "Wahai Ayah, lakukanlah seperti apa yang diperintahkan Allah. Jika Allah yang berkehendak, niscaya aku akan bersabar." 

Begitulah, romantis sekali cinta kedua anak dan bapak itu untuk Tuhannya.

"Bukanlah daging/darah yang kau korbankan itu yang akan mencapai Allah, hnanya ketakwaan (keimanan)mu yang akan mencapainya..." (Al Quran)

Allah ingin kita belajar dari Ibrahim, kerelaaannya mengorbankan anak yang disayanginya. Dalam sepuluh hari ini, the ten days, al ayyamul ashr, yang lebih utama dari sepulluh malam utama, doa-doa diijabah oleh-Nya. The days of eating, drinking, and most of it, remembrance of Allah. Kita punya tugas besar bersama dalam waktu kurang labih 10 hari ini. Apa yang bisa kita korbankan untuk Allah? Pertanyaan besar yang hanya kita yang bisa menjawabnya. Aku bergetar dengan kata-kata yang keluar dari mulut penuh dosa ini. Sesuatu yang kita sayangi hingga kita berani mengatakan, "Wahai Allah, inilah hal yang begitu aku sayangi, yang mungkin telah menghalangiku untuk selalu mendekati-Mu. sungguh kuatkan aku untuk mrelakan hal ini untuk mendekat kepada-Mu." 

Hening. Kalian mendadak diam. Kita sama-sama terpaku. Berat sekali menyampaikan ini karena aku pun masih mencoba melakukannya. Merenungkan dan mengorbankan apa-apa yang selama ini menghalangiku untuk mendekati-Mu. Waktu menghadap-Mu yang  masih kutunda. Hati yang berdebu. Mulut, mata, tangan, ya Allah semuanya milik-Mu. Apa yang bisa kurelakan? Semoga Engkau pun rela membersihkannya dan menguatkan setiap kami yang begitu lemah. Dan menguatkanku untuk benar-benar merelakanmu.

"Liabilities are probable future sacrifices of economic benefits, arising from present obligations of a particular entity to transfer assets or provide services to other entities in the future as aresult of past transactions or events." (Porwal, 2011) 

Pada intinya dalam perspektif akuntan libailitas (kewajiban) manusia kepada Allah, beribadah kepada Allah, adalah pengorbanan paling sederhana yang bisa dilakukan seorang manusia. Sebuah pengorbanan yang kita sadari bahwa yang kita miliki adalah liabilitas, hanyalah titipan, yang kelak akan dimintai pertanggungjwabannya kepada sang pemilik sejati, Allahu rabbi. Astaghfirullahal'adhiim. Apa yang telah kami lakukan selama ini?

Kini Idul Adha tiba. Wahai Allah, Pemilik segala, dan Arsy yang meliputi langit dan bumi, jadikanlah kami selalu belajar merelakan. Mengorbankan apa-apa yang sejatinya bukanlah milik kami. 

Wallahua'lam bishawab.

Aku meninggalkan gedung tua penuh cerita dengan perasaan yang bercampur-campur. Pikiranku berkelana mengikuti langkah kaki yang mulai menjauh. Betapa banyak yang harus kupelajari dan kuubah untuk mengorbankan, merelakan, dan menerima semuanya. Apakah yang bisa kukorbankan? Adakah sesutau yang layak dan sanggup kukorbankan? Sebab Engkau sama sekali tak membutuhkan pengorbanan itu. Bukan darah, bukan daging, bukan apapun yang akan mencapai-Mu. Lalu, kuatkah aku menjaga iman-the piety-the devotion, sebagai satu-satunya yang mampu mendekatkan kepada-Mu? Betapa aku masih begitu jauh...



4 comments:

  1. Semoga kita berada di tingkat yang lebih tinggi dalam menjalani kewajiban pada Tuhan,, KIta lakukan kewajiban dengan cinta :D
    Hingga berjalan di atas bara api terasa biasa-biasa saja

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiiin...
      iya sip2, saling mengingatkan ya nik...
      dengan cinta semua ibadah menjadi indah :)

      Delete
  2. Haii I like your blog. Boleh minta email untuk kerjasama dengan kamu?

    Regards,
    Tizsa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks, Tizsa. Silakan email ke isna.masyithoh@gmail.com. Trims

      Delete