lovely picture

Saturday, August 4, 2012

7 Tips Memasarkan Buku Self Publishing

oleh Puang Anto

Bagaimanapun, segala produk ‘berbentuk’ yang dipasarkan secara online, tetap memerlukan model distribusi konvensional untuk sampai ketangan pembeli. Tidak terkecuali buku yang diproduksi secara online. Kemewahan mengunggah naskah, print on demand, promosi dan transaksi berbasis online, sebagaimana ditawarkan oleh situs nulisbuku.com (dan lulu.com ditingkat global), cenderung lebih banyak dinikmati pihak produsen (penulis). Tagline ‘publish your’e dream’ dari nulisbuku.com semakin menegaskan hal itu, bukan ? Adanya kesenjangan antara waktu transaksi dengan saat buku tiba ditangan pembeli malah menghilangkan kemewahan pembeli untuk menerima buku real time, sebagaimana yang diperolehnya saat membeli di toko buku tradisional.

Masyarakat kita belum terpapar budaya belanja online. Faktor psikologis berupa ketidaksabaran, waktu dan biaya ekstra ongkos kirim, mestilah 3 penyebab utamanya. Bagi penulis yang sekedar inigin ‘menerbitkan mimpinya’ belaka, laku tidaknya buku adalah nomor 2. Namun alangkah senangnya bila buku kita bisa menjangkau pembaca –baca; pembeli- lebih dari yang kita bayangkan. Gagasan kita bisa menginspirasi lebih banyak orang, dan efek ekonomi (royalty) tentu menjadi bagian tidak terpisahkan. Menulis mungkin cuma hobby, namun tidak ada yang lebih membahagiakan didunia ini selain menekuni hobby, dan kita dibayar untuk melakukannya

Maka, tidak ada salahnya untuk menjadi pemasar yang sama handalnya dengan kemampuan kita menulis. Writepreneurs, ok !

Saya pernah mewawancarai 2 penulis yang menerbitkan bukunya di jalur self publishing. Yang pertama Vira Cla, penulis buku antologi cerpen ‘ Lajang Jalang’. Penulis ini memakai model self publishing Print on Demand (PoD) berbasis online di situs nulisbuku.com. penulis kedua adalah Dee Dee Sabrina, menerbitkan buku antologi fiksi ‘ ISI’ memakai jalur self publishing model konvensional. Dari wawancara mereka berdua, saya menarik kesimpulan bahwa, self publishing model offline & online tidak punya perbedaan mendasar, jika sudah sampai pada tahap pemasaran (promosi & distribusi). Dari obrolan secara terpisah dengan kedua penulis, saya mencoba menggabungkan beberapa tips-tips pemasaran buku yang mereka tempuh (sekaligus menimpanya dengan opini saya sendiri sebagai pembaca/konsumen). Semoga tips ini bisa bekerja membantu anda, kawan-kawan se-forum. Berikut tipsnya :


1. Hindari bertumpu pada promosi online

Semua penulis buku melakukannya. Kompetisi terjadi tidak hanya sesama penulis self publishing. Penerbit mainstream rata-rata memiliki situs yang memajang setiap produknya. Mereka gencar memberi insentif bagi blog-blog yang meresensi setiap terbitan terbaru mereka. Penulis indie cenderung menaruh harapan sepenuhnya pada promosi online (gratis ). Anda bisa melihat status facebook dan timeline twitter dibanjiri oleh promosi buku. Buku anda berada diantara kerumunan pasar. Anda tidak punya ‘sesuatu’ yang bisa membuatnya ‘menonjol’. Sebagai salah satu cara, bolehlah. Tetapi sebagai satu-satunya cara, jangan !

2. Manfaatkan Komunitas spesifik anda

Umumnya penulis indie dewasa ini berangkat dari blog ( anda blogger ?). Saya yakin anda punya pembaca, yang lebih dari sekali mengunjungi laman maya anda. Coba buka dashboard ---> Comment. Lihat, dibawah nama pemberi komentar ada tersisip alamat email-nya. Inventaris semua. Lalu, buatlah satu file attachments berisi foto sampul buku, sinopsis buku & testimoni pembaca yang mirip sales letter. Kirim sekaligus ke daftar email tersebut. Mereka suka blog anda, mereka akan suka buku anda.

Jangan lupa berikan sentuhan pribadi berupa tandatangan dan seuntai kalimat bagi pembeli jadi. Sentuhan ini akan jadi kenangan yang memudahkan penjualan buku kedua anda kelak (karena tandatangan dan kalimat terima kasih dari penulis Dee Dee Sabrina, saya berjanji akan membeli lagi buku kedua-nya kelak)

3. Testimoni tokoh

Penulis umumnya –hanya- meminta testimoni dari sesamanya penulis. Dan butuh mukjizat bagi penulis pemula untuk memperoleh testimoni dari penulis ternama. Testimoni adalah ‘pengaruh’. Saya sendiri menghindari membeli buku yang halaman belakangnya dipenuhi testimoni. oleh penulis itu-itu lagi, yang royal mentestimoni semua buku dibawah naungan penerbitnya.

Manfaatkan ‘testimoni tidak tertulis’. Dee Dee Sabrina menceritakan pengalamannya memberikan secara cuma-cuma bukunya pada salah seorang dosen sastra. Tak lama setelah membacanya, Dosen bersangkutan ‘mereferensikan’ buku antologi fiksi ‘ISI’ sebagai bacan yang ‘wajib’ kepada para mahasiswanya.

4. Berdayakan Media lokal (Koran & radio)

Media konvensional seperti koran harus diakui lebih punya kredibilitas ketimbang media online. Tingkat kepercayaan publik telah dibangun media tersebut selama bertahun-tahun. Pembaca mempercayai koran langganannya.
Koran biasanya punya halaman budaya pada edisi hari minggu. Anda bisa menemukan kolom resensi buku disebelah cerpen atau puisi. Setiap daerah pasti bangga atas setiap pencapaian prestasi warganya sendiri. Koran lokal umumnya punya keberpihakan untuk memuat sinopsis –atau resensi- buku dari penulis yang punya keterkaitan dengan wilayah penyebarannya. Media gemar menampilkan sosok yang bisa menginspirasi lingkungannya. Kirimkanlah satu jilid buku anda kepada redakturnya. Antar sendiri lebih bagus, disertai dengan soft copy berisi sinopsis atau resensi siap unggah ke hard disk redaksi.

Dee Dee Sabrina mengungkapkan bagaimana dia mendatangi rekan-rekannya di komunitas radio di kota stabat Medan, untuk menampilkan profilnya sebagai penulis muda dalam satu sesi siaran. Radio butuh berita, jadi win-win solution, bukan ?

5. Datangi bekas sekolah/kampus anda
Sumbangkan satu jilid buku anda untuk perpustakaan kampus. Lebih bagus lagi jika kampus anda punya media internal (majalah/bulletin/Koran/radio). Buat satu forum dimana anda bisa berbagi pengalaman dan inspirasi kepada yunior-yunior anda. Bawa beberapa contoh buku untuk direct selling. Pembaca buku suka membeli lansung dari tangan penulisnya. Jangan shock bila mereka meminta foto dan tanda tangan, yah.

6. Stok buku
Ini tips dari Vira Cla. Dia sengaja membeli bukunya sendiri dalam jumlah yang cukup signifikan sebagai stock. Ini berhubungan dengan psikologi masyarakat kita, yang lebih nyaman bertransaksi dengan manusia ketimbang situs. Yang perlu diingat dalam penjualan online adalah kejelasan profil penulis yang sekaligus merangkap sebagai pemasar. Buat calan pembeli merasa ‘aman’ berhubungan dengan anda, baik melalui blog pribadi maupun akun anda di jejaring sosial. Lengkapi data-data dan foto pribadi anda di akun tersebut. Penulis dengan nama alias/samaran tidak punya tempat di era web 2.0.

7. Kirim buku anda ke editor/kritikus nasional
Ini tidak berdampak lansung bagi penjualan, tapi umpan baliknya bisa diluar dugaan. Manfaatkan fitur pencarian teman di Facebook anda. Cari nama-nama besar semacam Nirwan Dewanto atau Nirwan Ahmad Arsuka. Cobalah untuk berteman dengan mereka. Mereka adalah orang yang ramah. Jika interaksinya sudah dirasa cukup, kirimkanlah satu jilid buku anda kepada mereka. Minta mereka memberi masukan, semata-mata demi perbaikan bagi cetakan buku anda selanjutnya. Mungkin mereka tidak akan meresensinya di Kompas. Paling tidak dia memberikan apresiasi, penyemangat bagi anda. Syukur-syukur dia menuliskannya di status FB atau tweet di timeline mereka. Bila itu terjadi, siap-siaplah untuk bolak-balik ke kantor pos.

Ketujuh tips diatas ibarat aliran sungai-sungai kecil yang akan bermuara pada samudera penjualan yang lebih besar. Harus disadari kalau –khususnya penulis pemula- ‘faktor nama’ di pasar buku masih jadi rujukan pertama bagi konsumen. Ketujuh cara diatas ibarat lahan, anda menyemai benih (nama) yang kelak tumbuh menjadi pohon popularitas. Saya pribadi yakin anda bisa melakukannya, buktinya, anda telah berhasil menerbitkan buku, yang bagi sebagian orang masih merupakan mimpi belaka.

sumber: http://forum.kompas.com/favorit-writers/35406-7-tips-memasarkan-buku-self-publishing.html

1 comment: