lovely picture

Monday, August 27, 2012

Kepada Taufik Ismail, Menunggu Itu...

Menunggu Itu
(buah pena Taufik Ismail)

Menunggu itu sepi
Menunggu itu puisi
Menunggu itu nyeri
Menunggu itu begini:
Sebuah setasiun kereta api
Di negeri sunyi
Malam yang berdiri di sini
Ada wajahmu dan wajahku
Benarkah jadi begini?
Rambutnya hitam sepi itu
Rambutnya putih sepi itu
Sunyi adalah sebuah bangku kamar tunggu
Dan jam tua, berdetik di atas itu
Sunyi itu tak pernah tidur
Sunyi itu tamu yang bisu
Menawarkan rokok padamu
Sunyi itu mengembara ke mana
Sunyi itu kota gemuruh
Sunyi itu padang penembakan
Sunyi itu tulang-belulang
Sebuah dunia yang ngeri
Menyuruh orang menanti
Ada karcis, ada kompor yang tua
Perjalanan seperti tak habisnya
Menunggu itu sepi
Menunggu itu nyeri
Menunggu itu teka-teki
Menunggu itu ini 
***
Menunggu KRS seperti menunggu SMS yang dinanti-nanti entah kapan bisa masuk kotak pesan. Menunggu KRS seperti menunggu di RS saat liburan namun ada kerabat yang justru menginap di tempat yang sama sekali tidak lebih baik dari rumah sendiri meski se-VIP apapun kondisinya. Menunggu itu.... semu. Tak pernah tau kapan benar2 datang. Menunggu KRS itu.. Kadang bikin gemes, mual, sakit kepala, sakit perut, demi mempertaruhkan jadwal kuliah :D

Menunggu kapan mendapat kesempatan bertemu beliau lagi.. Saat itu, Juli 2009, di kawasan Wisma Handayani, seorang bocah yang begitu cintanya pada puisi2 Taufik Ismail benar2 seperti bermimpi  menemui sosok pujangga yang diimpikannya sejak masih kanak2, yang detik itu  juga berdiri di hadapannya membacakan puisi (untuknya). Sebuah pertemuan tak terduga sama sekali. Stasiun Tugu, Kembalikan Indonesia Padaku, dan Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini,. Smua semuanya.. Setiap getar bibirnya membaca baris-baris kata sang pujangga adalah hati yang bergetar oleh jiwa yang berada di dalam genggaman-Nya. Dan saat itulah, ia meresapi puisi perpisahan yang ditulis sang pujangga untuk semua anak di ruangan itu. Dan tangannya bergetar meraih sebuah buku warna biru, sebuah catatan yang menyimpan setiap goresan apa saja. Di sana pula tersimpan baris-baris kata sang penyair. Begitu sang penyair menutup sambutannya, ia hanya bisa menahan rasa yang menyeruak di hatinya, tiba-tiba, dalam binar di wajahnya, dan gemetar di dadanya. Namun, ia tak bisa menemuinya hanya karena, hanya karena, ini belumlah saatnya meninggalkan ruangan.

Begitu seorang panitia bertitel sie acara membubarkan barisan, si anak berlari-lari mengejar bapak itu, bapak yang hanya kerap ia sebut  selepas membacakan baris-baris judul puisi pada 17an, Hardiknas, dan ketika ia hnaya ingin mengenang jiwa-jiwa yang menggetarkan dada dalam baris kata-kata. Di sana, di dekat mushola, terbata sembari tersipu malu, ia mengatakan betapa ia kagum betapa ia meresapi puisi sang penyair yang tengah bergegas begitu terburu-bur.u tampaknya Bapak itu hanya tersenyum simpul. Hanya itu. Sederhana.Dan si anak hanya mematung memegangi buku sampul batik warna biru yang di dekapannya erat, sebab Bapak itu hanya mengernyitkan dahi dan tersenyum sederhana padanya.

Hmm.. Yaah nikmati sajalah.. Menunggu itu... Kata Iman Rosadi dalam The Ethos of Sakura menunggu itu emas jika kita bisa memanfaatkannya, mengalahkannya, dan menggunakannya dengan hal-hal yang berarti :D

No comments:

Post a Comment