lovely picture

Saturday, April 21, 2012

Perjalanan Spiritual: Wajah yang Membeku

Catatan perjalanan 18 April 2008/2012, melewati 'alas roban'

Malam mencekam. Perjalanan ini seperti dejavu. Saat usiaku belum genap tujuh belas tahun. Saat aku merasa usiaku belum seberapa, jalan hidupku terasa masih panjang lapang membentang. Bintang di atas masih terang, matahari esok pagi akan tersenyum lagi, menyapa hari, kemudian menepi bersama senja yang menjingga. Menghabiskan malam mencekam dalam kesunyian, membayang sebuah wajah membeku di ujung sana.

Tahun berikutnya, ketika usiaku mulai menginjak dewasa. Ujian Akhir Nasional di depan mata. Pun Merapi yang merajalela dengan abu vulkaniknya. Tak surutkan perjalanan spiritualku yang kedua. Malam mencekam. Sisa abu yang terasa masih melekat. Trauma dan takut yang makin akut. Jogja, kami tinggalkan untuk sebuah mimpi. President University. Di sanalah impian itu berada. Aku akan ke sana. Perjalanan spiritual pun dimulai ketika kami sempatkan melihat wajah teduhnya. Wajah yang menyimpan setiap lekuk ketulusan. Entah kenapa, perjalanan spiritual itu harus bercampur dengan emosi jalanan. Jalanan macet. Kecurangan di jalanan. Sampai aku turun dari kendaraan. Mendekati Pak Polisi yang seragamnya aja polisi, tapi kelakuannya sama saja. Habis-habisan aku membela jalan kami dan bukan begitu seharusnya jalan ini tidak bisa seenaknya dibuka untuk dua jalur padahal sudah jelas jalan di depan sana rusak tak mungkin untuk dua arah. Hingga empat jam kami seperti berada dalam rumah keong. Ini sudah kriminalitas polisi!

Akhirnya, subuh hari mengabarkan satu wajah lagi membeku. Hari berkabung.  Wahai impian, tunggu aku pasti kembali. Tuhaan, letusan kesekian kalinya yang dahsyat. Perjalanan spiritual ini adalah penyelamatan? Atau pelarian? Sesungguhnya Tuhan telah menyelamatkan, sesungguhnya Ia menyimpan banyak hikmah dari setiap perjalanan. Sebab jalanan adalah miniatur kehidupan. Di sanalah kita bertemu manusia debu. Mengais debu. Berlumur debu. Bernafas. Menghirup debu. Bermandikan debu. Atau mereka yang merasa debu tak ada gunanya. Meletup-letup debu dari setiap cerobong bersama roda yang menggilas debu-debu itu. Aku bergidik membayangkan malam yang menggigil di antara debu yang berterbangan.

President University mungkin mimpi kesekian kalinya setelah Semesta, Wesleyan, Carnegie, Whitman, dan sederet impian lainnya. Dan perjalanan lah yang meyakinkanku bahwa udara di sekelilingku mengalir, mengalirkan bahwa denyut ini masih ada. Jadi apapun yang kini dalam dekapan, biarlah ia berjalan. Biarlah berlari. Jika ia lelah, cobalah berhenti dan rasakan kesesakan yang menyeruak. Cobalah dengar denyutnya memanggil, di manakah nama Nya, Ibu, dan Ayah? Sudah puaskah? Sudah cukupkah? Jika ia sesak,  cobalah rasakan udara dalam setiap ruang betapa kesesakan itu hanyalah jiwa kita yang kering, pikiran yang sempit, dan dunia yang mencerabut ruh kita dari ketenangan.

18 April yang kedua. Tak ada bedanya. Ketika beberapa tahun lalu, ia adalah hari ulang tahun seorang anak guru. Sebuah hari yang menyatukan kami kanak-kanak SD nan lugu. Dan kini, ia adalah hari lain yang mencekam. Malam berkabut yang menyelimuti perjalanan spiritual ini. Ketika tumpukan buku, agenda-agenda dunia, dan semua mulai menenggelamkan nafas ini. Semuanya kembali. Kembali kepada Yang Memiliki.

Dan kebekuan ini semakin mengiris hati. Wajah yang membeku. Tangisan yang membeku. Namun senyuman kecil itu tak hilang darinya. Aku mencoba tersenyum juga. Membayangkan usia belia melewati semuanya. Lalu, kami bercerita tentang impian masa depan. Kembali potret impian itu berputar dalam memori: Semesta dan setiap impian yang kami berbagi tentangnya. Well, aku bangga melihat semangatnya. Aku bangga ketika ia tahu bahwa wajah beku itu memeluknya. Memeluknya dengan doa yang dulu ia selalu ucapkan untuknya. Meski kini bibir itu telah beku kaku rapat tak bergerak. Jika wajah itu telah beku, bukankah doa takkan pernah membeku? Maka berjuanglah untuk Kesatuan Bangsa adikku! Berjuanglah untuk doa-doa itu! Jika di sana bukanlah tempat akhirmu, yakinlah impian takkan membeku. Impian adalah doa yang menyala selama-lamanya meski wajah dan raga harus membeku kaku :)

No comments:

Post a Comment