lovely picture

Saturday, April 5, 2014

Just A Little Thought on Democrazy


Ini adalah minggu tenang. Selingan di antara merampungkan kajian teori yang mengharuskan menamatkan minimal lima jurnal internasional untuk mata kuliah Metopen, saya iseng ingin sekali menuliskan sedikit pendapat  mengenai pesta demokrasi di Indonesia. Jujur saja, mungkin saya tergolong orang yang cukup skeptis soal politik dan demokrasi di Indonesia. Entahlah bagaimana mengurainya. Karena itu bukan ranah saya. Tapi saya sama seperti jutaan rakyat lainnya yang mempunyai cita-cita untuk kejayaan nusantara (kok jadi mars Gadjah Mada ya haha).

Fenomena yang muncul adalah orang-orang berebutan mencalonkan diri dengan berbagai motif dan latar belakang yang berbeda tentunya. Hanya saja, menjadi pemimpin itu tidaklah sesederhana menjadi Indonesian idol yang siap dipilih demi popularitas. Integritas dan profesionalitas adalah proses. Pada ranah ini, saya hanya berharap setiap kita dapat mempertanggungjawabkan kepemimpinan kita. Jujur, saya bukan orang besar dan punya kepemimpinan ideal, saya hanya sering berkaca pada diri sendiri. Saya merasa bersalah ketika keputusan yang saya ambil berdampak pada orang lain. Untuk semuanya yang pernah bekerja sama dan berhubungan dengan saya, terima kasih atas pelajaran dari kalian dan maafkan kekurangan saya :)

Ironisnya, pesta demokrasi terasa seperti ancaman belakangan. Bagaimana tidak, 40 kilometer/hari yang ditempuh seseorang yang ingin mencari ilmu (oops curcol) atau mereka yang setiap harinya menempuh perjalanan jauh untuk mencari nafkah untuk keluarganya dihadapkan pada ancaman jiwa atas kekacauan akibat kampanye dan perebutan kekuasaan. Mereka adalah rakyat juga. Namun, sampai kapan rakyat kita dibodohi dan digerakkan untuk sebuah ketidakberadaban? (waduh belibet bahasanya). 

Tentang itu, saya ingin memulainya dari kepemimpinan. Indonesia ini luaaaas sekali, memimpin Indonesia pastilah sebuah kepercayaan dan tanggung jawab yang besar. Konsep pemimpin seperti yang disampaikan dalam kuliah subuh tadi pagi, pemimpin ialah mereka yang diberikan amanah karena dia dipercaya oleh masyarakat atas kapabilitas dan integritasnya. Dalam al-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim (mttafaq'alaih), pertanggungjawaban akan diminta kepada pemimpin yang diberikan amanah dan orang yang memberikan amanah kepada pemimpin terpilih. Bahkan disebutkan, lagi-lagi saya adalah tipe pendengar jadi bisa ditinjau ulang sumber dari riwayat haditsnya, Allah memampukan dan menolong orang yang diberi amanah. Namun, Allah akan membebankan amanah kepada orang yang meminta amanah (jabatan), ya jabatan itu diberikan tanpa bantuan-Nya. Mungkin detail dan penjelasannya bisa dibaca langsung tentang riwayat hadits tsb. Saya juga bukan ahlinya. Tapi dua hal ini begitu berat rasanya melihat konteks dan relevansi dengan saat ini.

Sejujurnya, bagian sepele, normatif, yang sangat esensial menurut saya adalah etika. Bagaimana ethics, above the law and beyond the ideals-kata dosen pengauditan semester lalu-seharusnya menjadi perhatian dalam pembentukan karakter dan attitude bangsa yang tentunya dibentuk oleh masyarakat kita. Pemilu sebagai proses pendidikan itu harus segera dibenahi. Bagaimana caranya, hmm mungkin normatif lagi. Kembali kepada kesadaran dan tentunya keteladanaan dari orang-orang yang sudah menjadi figur masyarakat. Mempertanggungjawabkan amanah kita entah sebagai pemilih atau yang dipilih. Karena setiap kita adalah pemimpin entah memilih atau dipilih. Hmm semoga ada pencerahan ya. Semoga Yogyakarta yang berhati nyaman pun dapat menjaga kenyamanan hatinya seiring transformasi yang terjadi. Untuk menengok bagaimana proses pemilu khususnya kampanye di negara lain, menarik juga menyimak artikel berikut ini:


Pada akhirnya, selamat memilih untuk Indonesia. Saya hanya iseng ingin menulis begini. Memaknai kembali makna pesta demokrasi melalui satu puisi yang ditulis sastrawan Taufik Ismail. 


Taufik Ismail


Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah

abad yang lewat

Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu

kucatat

Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima

puluh lima

Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun

merdeka

Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam

sejarah bangsa

Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam

sejarah kita

Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah

jujur dan adil

Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma

dilaksanakan

Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi


Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma

dilangsungkan

Pesta yang bermakna kegembiraan bersama


Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda


Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan


Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah

ditumpahkan

Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang


Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan

lalu dibakar

Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api

berkobar

Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar

sogok-sogokan

Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada

kecurangan

Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia


Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias

senyuman

Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan


Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari

keganasan

Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu

berturutan

Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi

dalam ukuran

Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai

mereka kibarkan

Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam

dikobarkan

Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu

berkelahi dan
berbunuhan


Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan

dibakar puluhan

Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di

jalan, mereka sopan-
sopan


Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di

lapangan

Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan,

melanggar semua aturan

Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di

tangan bendera
berkibaran


Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat

semboyan dan
slogan


Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk,

melakukan kekerasan

Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan

diayunkan

Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan


Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan


Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah

kurasakan

Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku


Bangsaku.


*Puisi diunduh dari: http://www.lokerseni.web.id/2011/06/ketika-indonesia-dihormati-dunia.html



No comments:

Post a Comment