lovely picture

Saturday, March 10, 2012

Antara Artis dan Artisan


Ada yang berdesir ketika kata ini tertangkap oleh mataku. Seperti ada angin yang tiba-tiba berhembus dalam rongga dada dan jiwa. Seketika pun tergetar oleh hembusannya. Well, awalnya adalah kata “artisan” yang berkali-kali muncul di Madre, kumpulan cerita Dee, buku yang sejatinya terbit tahun lalu dan baru sempat aku baca. Buku ini ternyata berisi tulisan2 Dee yang beberapa sudah tak asing lagi bagiku semenjak kesukaanku menghibur hati dengan blogwalking di blog Dee.
Artisan sangat mengusikku, terdengar seperti artis dan semacamnya. Setelah beberapa kali kata itu muncul, Dee baru memberiku jawaban bahwa artisan itu jelas-jelas bukan artis dalam pandangan awam. Tampaknya dia ingin membuat pembaca sepertiku penasaran dengan makna kata itu. Dan dia benar-benar berhasil. Membeberkan jawaban pada bagiann yang tepat.
Artisan sesungguhnya bukan artis selebritis seperti pemhaman awamku pada awalnya. Artisan adalah para pembuat roti. Terdengar special, ya? Padahal mungkin benak kita berkata, pembuat roti itu apa coba, biasa saja. Tentu saja bread maker adalah suatu keahlian yang bukan main-main khususnya di luar negeri sana, setahuku. Dan passion menjadi seorang artisan sangat dekat denganku. Bukan karena aku pernah ingin menjadi seorang artisan, tapi lebih karena orang-orang dekatku yang punya mimpi dan ambisi menjadi artisan adonan roti, seperti cerita Madre-nya Dee. Sahabat kecilku yang dulu menghabiskan waktu kecil bersamaku, sering main masak-masak bersama. Saat itu juga, setelah menyelesaikan satu resep masakan dan roti di rumahnya yang menurutku cukup mewah untuk kampong kecilku.. Ia berkata dengan mantap kelak ingin buka pabrik roti. Kalau begitu, aku akan senang sekali berkaunjung ke tempatnya setiap kali, mencicipi rotinya. Kami pun tertawa.
Orang kedua setelahnya, ialah mom. Artisan wanna be yang aku akui kehebatannya. Yang selalu aku rindukan aroma adonan roti panggangnya setiap pagi. Lama sekali aku tidak lagi menghirupi aroma khas itu dan kelezatan roti buatannya. Ah, aku jadi merindukanmu. Aku ingat di antara kesibukannya sebagai single parent, mother of kindergarten kids, ayah sekaligus ibu, sahabat, guru, dan wanita hebat itu adalah artisan. You are really artisan. Buktinya aku merindukanmu bersama aroma khas roti buatanmu. Meskipun beberapa kali kau sempat gagal, entah gosong entah kenapa, makin hari aku makin mencintai roti buatanmu. Masih ingat ketika kita mengunjungi berbagai tempat bernuansa roti. Toko yang menjual peralatan memasak, Le pacclier-toko kue tua ala Prancis di Seattle City, bagel, English muffin, biscuits bersama selai raspberry atau strawberry, blue berry pancakes, homemade pizza, Walla walla market dengan berbagai atribut memasak yang selalu membuatku iri.. Hha, pasalnya, tradisi makan dan life style orang kampong beda banget. Tak ada romansa yang sangat terasa seperti di kota Walla Walla. Ya, stidaknya, romansa yang terasa berbeda. Celemek, sapu tangan makan yang beraneka warna jumlah variasinya yang selalu menghiasi meja, tisu bergamabar lucu-lucu tak pernah absen dari dapur dan meja makan. Walaupun aku turuti saranmu membawa kenangan ini pulang dengan membeli celemek atau aneka ragam sapu tangan makan tetap tak bisa menjadi bagian hidup kami. Kami terlalu sederhana atau tepatnya terlalu tidak terbiasa hal tetek bengek semacam itu. Makan ya makan. Masak ya masak. Tak perlu barang-barang seperti itu. Yang menurutku di situlah cita rasa dan romanasa itu ada. Dalam kehangatan perapian, cerita malam menghiasi waktu terindah bersama saat makan malam tiba. Cerita tentang hari yang kita lalui. Dan, dongeng sebelum tidur. Tentu saja suasana yang sangat kurindukan. Terutama setelah kini aku tak bisa lagi menikmatinya. Tentu aku tak bisa memakasa hal begini di tempat yang tak memiliki tradisi yang sama. Suata saat, jika Tuhan mengijinkan, aku ingin menghidupkan cita rasa dan romansa di naunganku kelak. Pasti menyenangkan. Rumah adalah istana. Setidaknya aku percaya itu. Seandainya kita penghuninya mau membangun kastil itu bersama dengan kasih sayang.
Aku mulai ngelantur. Kembali kepada artisan yang kukira artis pada awalnya. Ternyata aku salah, terjebak dalam istilah. Dan seketika aku teringat kata artis, saat itu juga aku ingat kata-katamu. “Isna, you are an artist!” Sungguh kata-kata itu aku resapi dalam batinku berbeda dengan ungkapan orang-orang tempat asalku yang mengatakan, “Ciee, isna artis!” Haha aku tak ingin menyalahkan mereka yang mencoba mengungkapkan dan mengekspresikan hal ini terlepas niat dan ketulusan mereka dalam memaknai ucapan mereka yang hanya Tuhan dan malaikat yang tahu. Yang jelas ini (artist dan artis) dua kata secara bahasa sama tapi dalam pemaknaan hatiku memiliki sense berbeda. Bagiku, being an artist means, expressing yourself, being who you are. Dan ketulusan kata ini terasa dalam ketika orang-orang khususnya mom dan Lili, mengungkapkannya padaku. Mengapa? Sebab aku tak pernah ingin jadi artis. Mungkin aku punya potensi untuk itu. Dan setiap orang pasti punya! Artis terasa hina buatku dan lingkungan asalku. Semacam idol yang sesungguhnya seperti berhala, seperti dari satu sumber yang memaknai idol adalah berhala. Meskipun dipuja, sama saja jadi berhala. Sama-sama hina. Sealin itu juga, ada banyak hal dari dalam diri yang masih bisa dicari selain artis.
Sebenarnya ada asumsi yang salah tentang artis. An artist adalah seorang seniman, begitu aplikasi translasi dictionary di komputer berkata. Ketika kita mencari terjemahan dari idol yang muncul adalah berhala, yang selalu dipuja. Sedangkan, celebrity artinya  orang yang terkenal. Jadi sejatinya artis, idol, dan celebrity memiliki makna yang berbeda.
Sense-ku berubah ketika mom yang mengatakan “You are a good artist”. Sebab, an artist is more than just celebs yang in general (though not all of them) sok penting dan sok tenar itu. Ya, aku tahu makna mereka. Aku menjadi artis dengan hatiku denga cinta yang masih hidup dan membuatku hidup. Ia hidup dalam senyum, air mata, puisi, lagu, dan coretan lainnya. Buktinya, sebuah coretan sketsa pensilku bergambar seorang ibu yang mendekap seorang gadis kecil, dialah mom dan Lili. Sketsaku, a fiddler on the roof, buat papa setelah tiket menonton teater Fiddler on The Roof di Spokane. Sebuah vas abstrak di kelas Pottery yang kupersembahkan untuk guru sastra yang membuatku semakin cinta pada kekuatan kata, Ms. Dohe. Spring Morning ataupun Waltz in A Minor saat recital. O Ina ni keke. Sigulempong. Dan setiap rasa yang kita simpan dalam hati kita. Semuanya. Indah.
Artist, setelah pengembaraan setahunku dalam pencarian mozaikku, aku maknai sebagai seseorang yang menjadi dirinya. That’s it. Jika Lili bercita-cita jadi artist, aku maknai sebagai seorang seniman dengan lukisan tangannya, atau seniman apa adanya. Bedanya, dia tau dan punya jalan untuk passion-nya itu. She’s lucky. Dia hidup dengan dinding karya-nya, tempat di mana dia bisa memajang semua art stuff-nya, kamar pribadinya, piano, dan cinta. Astaghfirullah, Tuhan lebih tahu dan adil. Aku tidak boleh merasa kurang dengan apa yang kumiliki. 
Tak seperti bintang di langit,
Tak seperti indah pelangi,
Karena diriku bukanlah mereka,
Ku apa adanya.

Menjadi diriku,
Dengan segala kekurangan,
Menjadi diriku atas kelebihanku..

Tetap aku bangga atas apa yang kupunya,
Setiap hari kunikmati anugerah yang tlah kumiliki.. :) 


-Edcoustic-

Aku sangat bangga pada Lili, kecerdasan dan bakatnya. Itu sudah cukup membuatku bahagia semestinya. Aku bersyikur dengan ini semua. Karena dia telah menghidupkan jiwaku dengan impian dan kepolosannya. Karena dia, aku belajar dan memahami cinta dan hidup. Karena mom, aku yakin “I will, when  I believe” (lagunya Mariah Carey atau David Archuleta-When You Believe).
Yaaaaa.. semuanya adalah masa-masa yang menyenagkan meski mungkin hanya kenangan. Menjadi Chairil Anwar dalam “Doa”-nya. Menjadi Taufik Ismail dalam “Stasiun Tugu” ataupun Toto Sudarto Bachtiar dalam “Pahlawan Tak Dikenal.” Menjadi Sulis dalam sholawat nabinya. Menjadi diriku dalam coretan-coretan.
Sayangnya, artist adalah seniman yang di tempat asalku sense-nya berbeda. Mungkin begitulah paradigma. Menjebak. Sulit memahaminya. Yang jelas, aku tak peduli apakah aku artis atau artisan. Yang jelas, aku ingin hidupku seperti an artist yang aku maknai sebagai hidup sebagaimana dirinya dan mencari makna hidup dengan hati untuk menemukan dirinya, scientist yang punya ilmu yang tau bagaimana menjalani hidup, dan seorang yang beriman yang tau jalan pulang dan tempat bernaung di manapun kaki ini menapak.
Aku tak menyangsikan mereka. Aku benar-benar yakin dengan kata-kata mereka setelah proses yang lama. Menggema dalam kesendirian dan perenungan. Memaknai ini semua meski belum seutuhnya. Paradigma memang sangat menjebak. Aku mencoba meraba dalam kegelapan paradigma. Sungguh ingatkan aku jika aku mulai terjebak dalam paradigma atau bahkan dalam kebahagiaan semu. Tuhan, ingatkan aku hingga aku paham. Sebab aku tau aku hanya membutuhkan cahaya-Mu, bukan cahaya semu. Aku mencari cahaya. Di manakah? Mungkin ada di dalam diriku sendiri. Di dalam hati ini. Najma. Bintang yang mencahayai dirinya demi sinarnya yang akan mencahayai sekelilingnya. Nurisma Najma Al-Batin. Tuhan, kuharap dengan Al-Batin yang hanya Engkau yang memiliki. Cahaya itu hanyalah cinta-Mu. Al-Batin, cahaya yang tersembunyi namun dekat, dekat dengan makhluk-Nya. Biarpun cahayaku tak benderang, tersembunyi. Kuharap cahaya itu dekat dan mendekap kita dalam dekapan cinta-Nya. :)

Yogyakarta, 10 Maret 2012 





Catatan:
"madre" artinya ibu... sedangkan dalam cerita Dee, ternyata adalah adonan roti lol 






No comments:

Post a Comment